Satu Hari Sekali Lagi : Tentang
Dua semester tanpa terasa sudah kita lewati. Di dua semester
itu juga pada beberapa kali kesempatan, kita berada dalam kelas yang sama. Aneh
rasanya, karena baru kali ini aku merasa sedekat ini denganmu. Berada dalam
satu jok motor yang sama, sedekat itu.
Menjadi orang yang sering memperhatikanmu saat di kelas,
tanpa sadar ada jarak yang aku bangun sendiri. Kalau diibaratkan kita memiliki
seratus kali kesempatan bertemu di kelas, hanya dua kali kesempatan yang kita
gunakan untuk berbicara. Itu pun bukan aku yang memulai. Satu saat kamu meminta
tanda tanganku, satunya lagi waktu kamu menjadi penanya saat kelompokku
presentasi.
Menurut buku catatan yang aku temukan saat beres-beres kamar
kos, di sana ada yang tertulis, “Apa contoh nyata negara itu dikatakan negara
maju?”, lengkap dengan namamu di atas pertanyaannya. Tentunya waktu itu aku mengambil
bagian menjawab pertanyaanmu. Sayang, waktu aku selesai mengutarakan jawaban,
dan kutanyai bagaimana tanggapanmu atas jawabanku, kamu langsung menyetujuinya.
Padahal aku berharap kamu tidak setuju, sehingga kita bisa berdebat lebih lama.
“Gimana, udah siap?” tanyaku.
“Yuk!”
Siang itu kita beranjak meninggalkan kotaku untuk pergi ke
kotamu. Teman kita dengan senang hati mengantar untuk menunjukkan jalan
alternatif menuju kotamu. Selesai mengantar, kami berpamitan. Dengan
mengucapkan bismillah, aku menancap
gas menandakan awal perjalanan kita dimulai.
“Jangan tidur, ya,” kataku.
“Aku ngantuk nih,”
“Ya udah tidur aja. Nanti paling jatuh,” candaku. Kamu
bergumam sebal.
Sepanjang perjalanan mengantarmu, aku gunakan untuk
mengenalmu lebih dekat. Meskipun aku termasuk orang yang cukup pendiam, membiarkan
orang yang jelas-jelas berada di dekatku dengan berdiam diri, sama saja
membuang-buang kesempatan. Apalagi orangnya adalah kamu. Upaya untuk mengenalmu
lebih dekat aku mulai dengan menanyakan kamu anak ke-berapa, berapa jumlah
saudaramu, dari mana asal kedua orang tuamu, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya
yang tidak lagi aku ingat.
Oh, ya, kalau kamu perhatikan baik-baik, aku jarang sekali
membuka obrolan dengan sebuah pernyataan atau cerita, iya, kan? Buatku memulai
obrolan dengan sebuah pertanyaan akan memancing timbulnya
pernyataan-pernyataan. Berbeda denganmu, yang aku perhatikan kamu lebih sering
memulai obrolan dengan cerita, dengan kalimat awal yang menjadi kebiasaanmu, “Aku mau cerita . . .“ di mana aku selalu
antusias sekali waktu kamu mengatakan hal itu. Rasanya tidak ada yang lebih menyenangkan
mendengar cerita-cerita yang kamu ceritakan.
Dari pertanyaan-pertanyaan yang aku lontarkan, aku jadi tahu
kalau kamu anak pertama. Kamu punya dua adik. Satu laki-laki, satu perempuan.
Adik laki-lakimu beberapa bulan lagi akan dikhitan, dan adik perempuanmu
menyukai boneka unicorn. Oh, ya, saat
aku menulis ini aku lupa lagi siapa nama adik-adikmu itu. Lain kali, saat kita
bertemu lagi, ingatkan aku untuk menanyakan hal ini kepadamu, ya.
Sebelum mengantarmu, sebenarnya aku tidak menyiapkan bahan
obrolan terlebih dahulu kecuali hanya tekad dan keyakinan. Ini di luar
kebiasaanku yang selalu dengan perencanaan ini-itu. Dua hal ini juga aku
gunakan saat mengerjakan ujian akhir semester. Hasilnya setelah beberapa waktu
kemudian, nilai IP yang aku dapat tidak begitu buruk. Walaupun sedikit turun
dari semester sebelumnya.
”Kalo kamu udah yakin,
pasti bisa!” begitu kata salah seorang teman yang sampai saat ini masih
begitu melekat. Yang ketika diingat kembali, entah kenapa aku menjadi lebih
yakin untuk bisa dalam segala hal, termasuk saat aku punya keinginan untuk
mengantarmu pulang. Waktu itu aku hanya memiliki tekad, yaitu mengantarmu
pulang dengan selamat. Aku menjadi semakin yakin ketika kamu mengiyakan
ajakanku menemanimu pulang.
Begitu juga saat berdua denganmu di sepanjang perjalanan. Obrolan
yang terjadi berasal dari pikiran yang secara kebetulan melintas. Atau berasal
dari penampakan kota yang kita lewati.
“Aku baru tahu, ternyata di Banjarnegara banyak yang jualan
guci,” kataku saat melihat di pinggir jalan Banjarnegara banyak yang menjual
guci.
“Dari SD denger Owabong, tapi aku belum pernah ke sana,”
kataku saat melihat plang yang tertulis ‘Owabong dengan arah kiri’.
“Mau ke sana?” ajakmu.
“Hahaha. Enggak. Aku tuh ya dulu tahu Owabong dari kaset
iklan. Aku masih inget jingle-nya itu
lagu Welcome to My Paradise,” kataku
sambil melantunkan lagunya.
“Hahaha.”
Setelah itu aku sudah lupa percakapan apa lagi yang kita
perbincangkan. Yang aku tahu, perjalanan bersamamu terasa begitu menyenangkan.
Walaupun laju kendaraan tidak begitu kencang, waktu terasa cepat sekali
berlalu. Sekitar dua jam perjalanan, kita sudah sampai tujuan. Hal yang aku
masih ingat saat kamu turun dari motor, kamu berlari ke belakang rumahmu. Menemui
bapak kamu yang berada di sana. Ketika kamu berhasil menemui bapakmu, kamu
girang sekali seperti seorang anak yang bertahun-tahun tidak bertemu orang
tuanya.
Kemudian, aku menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya
perlahan. Bersiap menghadapi babak selanjutnya; bertemu orang tuamu.
Bersambung..
Comments
Post a Comment