Kopi dan Saya



Saya suka kopi.

Kalau ditanya kopi apa yang saya suka saat ini, saya akan jawab kopi hitam dengan sedikit gula. Saya tidak suka kopi yang terlalu pahit. Saya juga tidak suka kopi yang terlalu manis. Saya sering membuat dan memesan kopi pahit, hasilnya kopi saya tak pernah habis. Mubazir.

Kopi pahit jenis tertentu mudah membuat jantung saya berdetak cepat, dan asam lambung. Alih-alih ingin merasakan kenikmatan kopi, saya malah menderita sakit. Hal yang membuat saya jadi lebih selektif dalam memilih jenis kopi. Kopi pahit tidak membuat saya kapok untuk mengonsumsinya, hanya saja daripada harus menyianyiakan kopi, saya memilih untuk menguranginya.

Begitu pula kopi manis. Saya tidak suka kopi manis. Disamping alasan diabetes, saya juga punya masalah dengan gigi. Gigi saya sudah tidak bisa terkena manis berlebih. Kalau saya tetap memaksakan, gigi saya akan linu. Walaupun saya sudah berusaha menghindarinya, kadang saya masih minum kopi manis. Alasannya sepele, tidak sengaja. Tiap kali saya pesan kopi di warung atau angkringan, saya hampir selalu lupa bilang gulanya sedikit saja. Tidak cuma lupa, kadang saya sudah bilang kopi pahit saja penjualnya tetap buat kopi manis. Apalagi kebanyakan penjual, bagi saya, terlalu banyak dalam menambahkan gula.

Bicara kopi manis, saya sering melihat di berbagai warung atau angkringan dalam membuat kopi dari saset (biasanya disaji dalam skala gelas tanggung), penjual menambahkan gula yang mana dalam kopi saset sendiri sudah tercampur gula. Tujuannya mungkin agar rasa tidak hambar, mengingat jumlah air yang disaji melebihi takaran penyajian semestinya.

Saya pernah iseng menyaring kopi saset sekedar ingin tahu seberapa banyak gula di dalamnya. Hasilnya cukup menampar keras saya yang dulu gemar sekali mengonsumsi. Ini yang membuat saya pada akhirnya sadar untuk belajar mengurangi mengonsumsi kopi manis, kopi saset (dan segala jenis minuman saset lainnya), minuman botol, kaleng, dan sejenisnya yang kandungan gulanya tidak masuk akal.

Lanjut ke kopi lain, yaitu kopi campur. Kopi campur, bagi saya, adalah kopi yang ditambah susu, krimer, dan sebagainya. Mengingat baru-baru ini beredar kabar susu kental manis ternyata tidak mengandung susu melainkan gula, dan hanya boleh dijadikan sebagai topping bukan sebagai minuman. Saya termasuk sering mengonsumsi kopasus atau kopi arabica susu. Kopasus adalah kopi favorit saya di warkop. Di mana susunya, susu kental manis. Entah kalau di warkop lain. Sejak mendengar berita itu, saya jadi ragu memilih kopasus sebagai pilihan saya lagi.

Pernah suatu ketika saya pergi ke Solo, tepatnya ke angkringan atau hik yang berada di gerbang depan UNS, satu tenda dengan nasi goreng. Saya memesan kopi susu. Disaji dalam satu gelas tanggung. Susunya bukan susu kental manis, melainkan susu sapi murni. Saya menikmatinya. Sejak saat itu kopi susu depan UNS menjadi kopi pilihan saya di Solo.

Ketika di rumah saya coba mencampur susu full cream ke dalam kopi. Alih-alih ingin merasakan kopi susu seperti yang di Solo, ternyata hasilnya tidak pernah senikmat itu. Selain susu full cream, saya juga pernah mencampur kopi dengan non-dairy creamer atau krimer non-susu. Saya menambahkan krimer karena saya tidak bisa menikamti kopi hitam pahit yang saya buat. Sejak menambah krimer, saya menikmatinya di satu gelas pertama. Ketika coba membuatnya lagi dengan takaran berbeda, kenikmatannya berkurang. Mungkin saya perlu membuat takaran yang pas agar dapat dinikmati.

Namun, hal itu nampaknya tidak akan saya lakukan lagi. Setelah baca beragam artikel mengenai krimer non-susu yang ternyata kurang baik untuk dikonsumsi, saya berhenti menambahkan krimer ke dalam kopi.

Akhir-akhir ini saya jadi lebih sering memerhatikan kesehatan saya. Baik makanan dan minuman (khususnya kopi) yang pernah saya konsumsi, saya cek baik buruknya bagi kesehatan. Akhirnya setelah proses pengenalan panjang mengenai kopi dan segala jenis campurannya, saya menjatuhkan pilihan untuk menikmati kopi hitam dengan sedikit tambahan gula.

Bagi saya mengenal kopi itu ibarat pdkt dengan seseorang, kamu hanya perlu menemukan yang terbaik dari yang terbaik.

Kalau kata mojok, met ngofe mylof~

Comments

Popular posts from this blog

Social Media