Satu Hari Sekali Lagi : Rumah
Aku tidak tahu apa yang mesti disiapkan saat bertemu orang
tuamu nanti. Alasannya sederhana, aku belum pernah berada pada kondisi seperti
ini. Sepanjang pengalaman dekat dengan beberapa perempuan, sama sekali aku belum
pernah bertamu ke rumahnya seorang diri. Tiba-tiba aku teringat satu kalimat
pamungkas yang pernah aku dengar, “Kalau
kamu yakin, pasti bisa.”
Selesai menyapa bapakmu, kamu kembali ke depan rumah.
Membuka pintu, dan mempersilahkanku masuk. Aku membawa masuk barang bawaanmu
yang masih berada di motor. Kamu memersilahkanku duduk, sekalian
mengistirahatkan tubuh katamu. Di meja tamu ada air minum dan beberapa kue
lebaran. Namun, tidak aku sentuh mengingat belum waktunya berbuka puasa. Entah
kenapa, perjalanan yang kita lakukan hari itu tidak terasa melelahkan.
Sebelum orang tuamu menemuiku, aku menyempatkan membuka handphone, mengirim pesan ke temanku,
Kambing. Aku ingat Kambing pernah bercerita padaku saat dia berkunjung ke
tempat kekasihnya di Lamongan. Untuk itulah aku merasa butuh bimbingan Kambing
yang lebih berpengalaman.
“Mbing, aku lagi di Purbalingga.”
“Terus?” balas Kambing cepat.
“Biar terlihat akrab dengan bapakya, enaknya aku yang
memulai obrolan dulu atau menunggu bapaknya?”
“Jangan sok kenal. Tunggu ditanya aja,” jawab Kambing
meyakinkan.
“Oke, sip!”
“Biar pulangnya gampang. Ha ha ha. Pokoknya jangan
malu-maluin.”
“Ok, sip!”
“Sip!”
Tak lama kemudian, bapak kamu datang menemuiku di ruang
tamu.
“Halo, Pak,” sapaku sambil menyalami, yang setelahnya aku
sadari betapa bodohnya aku karena tidak memperkenalkan diri.
“Gimana perjalanan? Lancar?”
“Alhamdulillah, lancar, Pak.”
“Katanya mau nginep sini?”
Aku terkejut dengan pertanyaan bapakmu. Aku mengalihkan
pandangan ke kamu, mengisyaratkan perasaan tidak terima dengan keputusan
sepihak ini. Kamu hanya menjelir sambil berlalu. “Sialan,” batinku.
“Wah.. Kayaknya langsung pulang aja, Pak. Nggak
bawa baju ganti juga,” jawabku memberi alasan untuk meyakinkan.
“Nginep juga nggak apa-apa, mas. Capek juga kan habis
perjalanan jauh.”
“Langsung pulang aja, Pak. Nanti malah ngerepotin,” jawabku
yang sepertinya belum memuaskan. “Di sini enak ya, Pak, sepi, tenang, silir,”
sambungku untuk mengalihkan pembicaraan.
“Ya gini, Mas. Oh, ya, masnya ini Kebumennya sebelah mana?”
Berhasil, batinku. “Aku di kotanya, Pak. Di pinggir jalan
persis. Jadi, suasananya ramai kalau di sana.”
Setelah itu, bapak kamu bercerita kalau pernah ke Kebumen.
Ke daerah yang aku lupa di mana, karena tidak begitu mengerti. Urusan
pekerjaan, katanya. Tak lama setelah bercerita, bapak kamu sibuk dengan handphone. Aku pikir sedang membalas
pesan. Di tengah keadaan yang kosong itu, aku gunakan untuk mengirim pesan ke
kamu yang sedang di ruang belakang.
“Woi, anterin pulang.
Jangan nginep.”
“Kalo enggak aku pulang
sendiri ya,” tambahku.
Pesan terkirim. Beberapa saat kemudian kamu kembali ke ruang
tamu. Mengambil handphone. Membaca
pesanku, dan tersenyum kecil. Dengan segera, pandanganmu mengarah kepadaku. “Nggak
mau,” katamu dengan nada rendah. “Dasar!” balasku.
Tidak terasa azan asar berkumandang. Bapakmu meninggalkan
kita berdua di ruang tamu. Sesaat kemudian aku mengetahui bapakmu pergi ke
masjid. Dengan menyisakan kita berdua, segera aku meminta penjelasan padamu.
“Ini siapa yang bilang aku mau nginep?” tanyaku tidak
terima. “Perasaan perjanjian di Stasiun Purwosari kemarin, cuma sampai aku ikut
buka di sini.”
“Aku, kenapa?” katamu dengan ekspresi yang begitu manis.
“Woo, kamu ini ya. Enggak, aku nggak mau pokoknya. Aku
pulang sendiri aja, kalau masih dipaksa nginep.”
“Ya sana, mau pulang pakai apa emang?”
“Jalan kaki!” kataku sambil berlalu ke luar rumahmu, pamit
solat di masjid.
Selesai menunaikan ibadah solat asar, aku tidak menemukanmu berada
di ruang tamu. Mungkin, sedang di belakang, pikirku. Lalu, aku duduk di beranda
rumahmu. Melihat sekeliling. Selang beberapa lama, ada yang datang, yang
kemudian aku sadari itu Ibu kamu. Aku menyapa dan memberi salam. Bodohnya, aku
lupa lagi tidak memperkenalkan diri.
“Halo, Bu.”
“Masuk, Mas.”
“Oh, njeh, Bu.”
Ibu kamu masuk ke rumah, aku kembali duduk di beranda, menyadari
kamu belum ada di ruang tamu. Tak lama kemudian, aku melihat kamu yang sudah
sudah segar selepas mandi. “Ya Allah, cantik,” batinku. Sore itu suasana
sedikit mendung, ditambah angin sore yang menyejukkan, ditemani kamu yang duduk
di sebelahku, melengkapi hari itu.
“Desa kamu namanya Kembaran?” tanyaku selepas melihat di
depan rumahmu ada SD Kembaran.
“Iya.”
“Dulu kamu sekolah di situ?”
Kamu mengangguk. “Lah, deket banget dong,” kataku.
Setelah itu kamu bercerita cukup lama tentang masa kecilmu.
Saat kamu masih sekolah dasar. Katamu, kalau ada sesuatu yang belum kamu bawa,
kamu hanya tinggal pulang ke rumah. Menyenangkan sekali, katamu. Lama bercerita
tentang masa kecil, kemudian aku ingat ada hal penting yang ingin aku bicarakan.
“Eh, menurutmu, aku pindah apa enggak?” tanyaku yang
sepertinya mengejutkanmu. Aku menanyakan hal tersebut mengingat aku diterima perguruan
tinggi negeri di Yogyakarta. Hal yang membuat gundah adalah aku masuk jurusan
yang sedari kelas sebelas aku cita-citakan. Di sisi lain, aku benar-benar tidak
ada niat untuk meninggalkan kuliahku di Solo.
Kamu berpikir sejenak sebelum akhirnya memberi pendapat. “Kan
itu udah jadi cita-citamu dari dulu.”
“Kok, kamu tahu?” aku sedikit tersanjung, mengingat aku
tidak pernah cerita hal itu ke kamu.
“Temen-temen banyak yang cerita.”
“Tapi aku masih bingung.”
Ada hening sejenak. Aku memperhatikan kamu. Seperti ada yang
sedang kamu pikirkan. Entah apa.
“Mandi sana,” kamu berlalu masuk ke rumah, kembali dengan membawa
handuk untukku. Kemudian menuntunku, memberi tahu letak kamar mandi. Selepas
mandi, aku menemuimu berada di ruang tamu.
“Jalan-jalan, yuk!” ajakku.
“Ayuk! Aku siap-siap dulu ya,”
Bersambung..
Comments
Post a Comment