Satu Hari Sekali Lagi : Milkmax dan Seblak
Sehari sebelum berkunjung ke rumahmu, aku menelusuri
tempat-tempat wisata di kotamu melalui internet. Selagi di kotamu aku pikir
akan lebih menyenangkan jika kita habiskan untuk liburan bersama. Hanya saja
waktu sudah tidak memungkinkan untuk menjangkau tempat wisatanya. Sore itu kita sepakat untuk berkeliling
menikmati suasana kota.
Kamu kembali ke ruang tamu setelah sepuluh menit. Kamu hanya
berhias sederhada, mengenakan baju berwarna biru dengan celana kulot abu-abu,
senada dengan warna kerudungmu. Langit di luar tampak redup. Angin hilir mudik
menyapa begitu lembut menemani perjalanan kita sore itu.
“Mau ke mana nih, Neng?”
Kamu berpikir sejenak sebelum kemudian menjawab. “Mm, kamu
udah pernah minum milkmax?”
“Apa?”
“Milkmax. Itu lho
susu tapi ada rasa-rasanya.”
“Oh, susu. Kayak milkshake
gitu, ya?”
“Iya, tapi ini lebih enak. Gelasnya besar. Marem pokoknya,” katamu begitu antusias.
“Sering aku beli milkmax, sayang
banget di Solo nggak ada yang jual.”
“Kok kayaknya enak, ya. Oke, kita ke sana.”
Aku melaju kecepatan motor dengan santai seperti biasa.
Tidak terburu-buru. Mungkin aku seperti kebanyakan orang yang berharap waktu
dapat terhenti, sehingga dapat terus bersama orang yang istimewa tanpa batasan
waktu. Aku kembali bertanya hal-hal kecil dari apa yang aku lihat saat
berkeliling.
“Eh, tadi tugu apa?”
“Namanya Tugu Knalpot.”
“Waw. Kenapa knalpot?”
“Di sini terkenal tahu sama knalpotnya,”
“Wah, baru tahu aku.”
“Ini alun-alun Purbalingga?”
“Iya. Dulu tuh ya ada pohon gede banget,” katamu memberi
penekanan panjang pada kata gede. “Pohonnya ada dua. Terus sekarang udah
ditebang. Sedih aku.”
“Kenapa ditebang?”
“Yang satu ambruk kena angin, satunya lagi sengaja ditebang mbok takutnya nanti ambruk juga.”
“Terus kenapa kamu sedih?”
“Dulu pas masih ada pohonnya, alun-alunnya bagus, sejuk.”
“Ini nanti ambil kanan,” katamu.
Aku melihat kendaraan di belakang melalui kaca spion, lalu
menghidupkan lampu sein kanan.
“Kamu mau pesan rasa apa?” tanyamu setelah masuk ke tempat milkmax.
Aku melihat daftar menu. Mencari rasa yang jarang aku
cicipi. “Mm, aku rasa greentea aja.”
Kemudian kamu mengatakan pesananmu, dan pesananku pada
pelayan. Rasa yang kita pesan berbeda, aku lupa rasa apa yang kamu pesan waktu
itu. Milkmax-nya
kita bungkus, mengingat belum waktunya buka puasa. Oh, ya, kamu juga beli satu milkmax untuk adikmu, kalau tidak salah
rasanya sama seperti punyamu. Kamu membayar semua minumannya, setelah menolak
tawaranku untuk membayarnya. Berawal dari sini, aku jadi semakin yakin kamu
orangnya keras kepala sekali, walaupun aku sudah sangat bersikeras menawarkan
diri.
Sebelum meninggalkan tempat, kamu bertemu temanmu entah
siapa. Setelah selesai menyapa temanmu itu, kita beranjak pergi.
“Mau ke mana lagi nih?”
“Kamu suka seblak nggak?”
“Seblak? Belum pernah makan sih. Emang enak?”
“Kalau menurutku tuh ya, seblak paling enak yang pernah aku
cicipi ada di deket SMA-ku.”
“Oh, ya?”
“Iya. Aku pernah beli di Solo, rasanya nggak ada yang seenak
di sini.”
“Emang apa bedanya?”
“Di sini tuh banyak micinnya.”
“Kamu suka micin, ya?”
“Enak tahu.”
“Ah, aku jadi inget, aku pernah baca ceritamu kalau kamu tuh
dari kecil suka nyemil masako.”
“Ahaha.”
“Emang beneran?” tanyaku memastikan.
“Iya, beneran.”
“Aneh kamu ya. Hahaha.”
Kita tertawa. Tak lama setelahnya kita hampir sampai di SMA-mu.
“Itu SMA-ku.”
“Mana?”
“Mana?”
“Itu lho,” katamu sambil menunjuk. Mataku mengikuti arah
jarimu.
“Luas juga, ya,”
“Iya dong, SMA 1 Purbalingga gitu!” katamu bangga.
“Eh, ini di mana tempat seblaknya?”
“Di depan SMA-ku, deket gerbang. Nah itu tuh,” tunjukmu.
Aku menghentikan motor tepat di seberang tempat seblak.
Jalanan sore itu ramai. Bulan puasa membuat orang-orang pergi ngabuburit
mencari bukaan. Atau yang sekedar mencari sore sembari menunggu azan magrib.
Aku memandang ke arah depan dan ke belakang, mencari kesempatan untuk
menyebrang. Di tengah itu, tiba-tiba kamu berbicara kepada seseorang yang
berada di belakang.
“Loh, Mbak Queen,” katamu menyapa, yang kemudian aku sadari
itu adalah kakak tingkat kita di kampus.
“Halo, Mbak Queen,” kataku gantian menyapa sambil
melambaikan tangan.
“Loh? Kamu ngapain?” tanya Mbak Queen tidak menyangka
kehadiranku di kotanya.
“Main, Mbak,” jawabku sambil tersenyum.
“Hm,” Mbak Queen menampakkan ekspresi curiga.
“Nunggu siapa, Mbak?” tanyamu.
“Teman, Dek. Mau bukber nih.”
Jalanan tampak sepi. Aku mengambil kesempatan ini untuk
menyeberang sekaligus pamit kepada Mbak Queen.
“Duluan ya, Mbak.”
“Duluan, Mbak.”
“Oke.”
Sesampainya di tempat seblak, aku memarkirkan kendaraan. Lalu
kita berjalan menuju tempat seblak sambil berbicara.
“Aku nggak nyangka bakal ketemu Mbak Queen di sini,” kataku
masih tidak menyangka. “Dunia itu sempit juga, ya,” tambahku.
“Tadi waktu di jalan pulang juga ketemu tahu.”
“Yang bawa gitar itu?”
“Nah, iya.”
“O, walah.”
Mbak Queen adalah kakak tingkat pertama yang aku kenal. Saat
ondesk (pengumpulan berkas) mahasiswa
baru, entah mengapa aku sudah merasa akrab dengan Mbak Queen. Diawal sebelum
masa ospek, Mbak Queen menjadi kakak asuh bagi kami mahasiswa baru. Aku menamai
kontaknya dengan nama Filisafah. Tidak memakai Mbak, karena aku yakin kita memiliki
tahun lulus yang sama saat SMA. Setelahnya aku dengar dari teman-teman, mereka akrab
memanggilnya dengan Mbak Queen, Mbak Uin, dan sebagainya. Satu hal yang sampai
sekarang aku ingat dari Mbak Queen adalah minum menggunakan tangan kanan.
“Dek, tangan kananmu lagi sakit?” katanya saat melihatku
minum dari botol tupperware bajakan
menggunakan tangan kiri.
“Gimana, Mbak?” tanyaku setelah selesai meneguk.
“Tangan kananmu lagi sakit?”
“Oh, enggak, Mbak. Emang kenapa, ya, Mbak?”
“Kok minumnya pakai tangan kiri?” mendengar kalimat itu, aku
merasa ada yang menancap batinku dengan keras.
“Kamu mau pesen yang mana?” tanyamu.
“Aku ngikut kamu aja.”
“Yang biasa aja ya, yang ada kerupuknya.”
“Siap.”
“Eh, itu ada ceker?” tanyaku setelah kita duduk.
“Ada. Kamu mau?”
“Enggak-enggak cuma nanya aja. Kamu suka ceker?”
“Suka. Enak tahu. Aku tuh, ya, apa aja dimakan. Kamu nggak
suka nih jangan-jangan?”
Aku mencerna sejenak kalimatmu yang suka makanan apapun. “Wah,
kalau ngajak kamu makan bareng nggak bakal bingung nih mau makan apa,” batinku.
“Gimana ya, udah pernah nyoba makan, sih.”
“Terus?”
“Aku nggak tahu cara makannya gimana. Terus aku nggak tahu
juga yang dimakan itu apanya,” jelasku. “Nah, ini, mumpung bahas ceker aku mau
nanya kamu nih.”
“Apa?”
“Ceker itu yang dimakan apanya, terus enaknya di mana coba?”
“Hih, ya dimakan cekernya,” katamu sedikit sebal.
“Dimakan aja gitu? Digigit?” tanyaku meminta kejelasan yang
pasti.
“Iya, digigit kulit-kulit cekernya. Lha, kamu makannya
gimana?”
“Aku emut, kupikir sama aja kayak makan tulang sum-sum.
Terus pas udah aku emut, aku nggak nemu enaknya di mana. Jadi, ya udah, nyoba
sekali itu udah nggak mau nyoba-nyoba lagi.”
“Hahaha. Padahal enak tahu,”
“Itu seblaknya dikasih sayur-sayuran?”
“Iya.”
“Berarti mirip sayur capcay?”
“Masnya belum pernah makan seblak, ya?” tanya Ibu penjual
seblak yang tiba-tiba ikut nimbrung di tengah percakapan kita sambil tersenyum
kecil.
“Belum pernah, Bu. Nah, ini baru pengalaman pertama,” kataku
semangat. Ibu penjual membalas dengan tertawa.
“Itu punya kita udah jadi tuh,” kataku sok tahu.
“Itu punya mbak-mbaknya tahu!” balasmu kesal.
“Hehehe.”
Kita kemudian melanjutkan percakapan dengan Ibu penjual. Entah
apa yang kami bicarakan, namun aku merasa percakapan sore itu begitu
menyenangkan. Ibu penjual itu begitu ramah dan baik. Hingga tiba-tiba ada
sesuatu yang terjadi. Gerobak Ibu penjual hampir ambruk, seperti ada yang
menarik. Awalnya aku mengira ada semacam gempa yang terjadi. Aku panik, kamu panik,
Ibu penjual tak kalah panik. Aku mencoba menahan gerobak Ibu penjual agar tidak
ambruk. Dari arah yang tak jauh terlihat seorang pengendara motor mencoba
membuka gerbang sekolah. Ternyata itu penyebabnya. Kabel yang dipakai Ibu
penjual untuk menyalakan lampu menjulur melalui sela-sela gerbang sekolah.
Seorang pengendara motor yang mendorong gerbang itu tidak menyadari kalau ada
kabel yang ikut tertarik.
“Kirain aku ada gempa,” kataku mencoba menenangkan diri.
“Kaget aku.”
Setelah peristiwa itu, tak lama seblak kita sudah jadi. Kamu
bertanya berapa harga semuanya kepada Ibu penjual. Mengingat kejadian
sebelumnya di mana kamu sudah membayari milkmax-ku,
kali ini aku mencoba lebih sigap menawarkan diri. Ketika kamu hendak memberi
uangmu pada Ibu penjual, aku segera menyusup.
“Udah, sekarang gantian biar aku aja,” kataku sambil memberi
uang kepada Ibu penjual. “Ini, Bu.”
“Mas sama Mbaknya pacaran, ya?” tanya Ibu penjual yang
membuatku tersipu.
“Hahaha,” balasku. Kamu hanya tersenyum manis. “Aamiin,”
batinku.
“Aduh, Mas, uangnya nggak ada yang lebih kecil?”
“Waduh, nggak ada, Bu.”
“Udah pakai ini aja, Bu,” katamu.
“Nggak-nggak, pakai punyaku aja, Bu,” kataku kukuh. Kamu
masih tidak mau mengalah.
“Aku aja, udah,” terjadi pertengkaran kecil di antara kita. Ibu
penjual tersenyum melihat tingkah kita, lalu mengambil uangmu yang lebih kecil
dari punyaku.
“Yah, padahal Masnya udah mau bayarin ya, tapi Ibu nggak
punya kembaliannya,” katanya mencoba menghiburku.
Akhirnya aku mengalah lagi. Selain harus lebih keras kepala darimu,
aku juga harus memiliki rencana terobosan dengan mempersiapkan uang kecil
sebelum bertemu atau mengajak kamu entah ke mana. Suatu hari akan aku terapkan
rencana ini, gumamku. Setelah pamit dengan Ibu penjual, kita tidak memiliki
rencana ke mana lagi selain pulang.
“Dulu waktu SMA, aku sering naik angkot loh,” katamu.
“Wah.”
“Dulu kalau mau naik angkot harus jalan dulu sampai sini,”
katamu sambil menunjuk lokasi ngetem. Setelah itu kamu lanjut bercerita.
Dibanding menanggapi ceritamu, aku lebih suka menjadi
penyimak atas cerita-ceritamu. Aku selalu suka mendengarnya, menyenangkan
sekali.
“Katanya kamu mau beli tiket bus?” tanyamu.
“Ah, iya. Tapi ini udah mau magrib. Kayaknya nanti aja deh.”
Saat kita akan pergi mencari milkmax dan seblak, langit sudah gelap. Baru setelah kita hendak
pulang, langit mulai merintik kecil. Motor aku laju dengan sedikit lebih cepat.
Pada perjalanan mencari milkmax dan
seblak, kita sempat melihat pedagang es duren di pinggir jembatan.
“Katanya mau beli es duren? Gak jadi beli sama sekalian buka
puasa di sini?” tanyamu saat kita melewati jembatan.
“Mau hujan nih. Buka di rumahmu aja, ya,” jawabku khawatir
gerimis semakin besar.
Perjalanan kita hanya tinggal melewati jalan lurus. Sebelum sampai
di rumahmu, kamu menanyakan hal yang ternyata masih mengganggu pikiranmu.
“Aku masih penasaran deh, kok kamu bisa-bisanya ada pikiran nganterin
aku?”
“Hehehe. Ada deh.”
“Kamu tahu nggak, kamu itu orang pertama yang dateng ke
rumahku,” kemudian kamu menyebutkan nama-nama teman perempuanmu yang juga
temanku yang belum sempat main ke rumahmu. Setelah mendengar aku orang pertama
dari teman-teman satu kelas kita yang berkunjung ke rumahmu, aku merasa menjadi
seseorang yang begitu istimewa.
Bersambung . .
Comments
Post a Comment