Satu Hari Sekali Lagi : Sampai Jumpa
Gerimis sore itu perlahan reda. Tepat setelah kita kembali
ke rumahmu, dan azan magrib telah selesai berkumandang. Menandakan sudah
waktunya buka puasa. Milkmax yang sudah
kita beli, kita gunakan untuk membatalkan puasa.
“Hm, enak,” kataku. Sejak saat itu greentea menjadi rasa baru favoritku.
“Mau dilanjutin makan apa solat dulu?” tanyamu.
“Solat dulu aja.”
“Ya udah, yuk!” kamu mengajakku ke ruang belakang. Di ruang
tengah aku menyapa keluargamu yang sedang menikmati menu berbuka sambil nonton
televisi. Di ruang belakang aku mengambil air wudu mendahului kamu.
“Di mana solatnya?” tanyaku setelah kamu selesai berwudu.
“Bentar, solatnya bareng, ya. Aku mau ambil mukena dulu.”
Sambil menunggu kamu mengambil mukena, aku melihat ada
sepeda motor cross di dekat dapur.
Tanpa meminta konfirmasi darimu, aku menebak itu adalah milik adik laki-lakimu.
Benar, kan? Atau jangan-jangan kamu diam-diam memiliki hobi bermain motor cross saat sedang berada di rumah?
“Ayo,” katamu tiba-tiba.
Selesai melaksanakan solat magrib, kamu mengajakku untuk
mengambil makan malam. Di atas meja makan ada banyak lauk dan sayur yang masih
hangat. Kalau tidak salah ingat ada ayam goreng, sate, sayur bening, dan sayur
daun singkong.
“Nasinya mau seberapa?” tanyamu inisiatif mengambilkan nasi
ke piringku.
“Dikit aja,” kataku. “Nah, segitu,” kataku lagi setelah kamu
menuangkan satu centong nasi penuh.
Sebagai orang Jawa yang terkenal malu di depan, mau di
belakang, aku hanya mengambil lauk dan sayur secukupnya.
“Mau makan di sini atau . . ?”
“Di ruang tamu aja, sekalian minum milkmax sama makan seblaknya,” kataku memotong.
Malam itu untuk pertama kalinya kita makan malam bersama. Dari
situ aku jadi tahu cara makanmu, kamu makan dengan perlahan, dan tenang. Tidak
disambi dengan minum hingga makananmu baru benar-benar habis. Berbeda denganku
yang menyambi makan dengan minum milkmax.
Suatu perbuatan kurang baik karena setelah milkmax
yang berukuran enam ratus mililiter itu hampir habis, perutku kembung. Aku
mencoba menghabiskan makan dengan perlahan-lahan.
“Kamu sih aneh,” katamu setelah aku mengeluh kekenyangan.
“Emang bener-bener marem
minum milkmax doang, ya.”
Sewaktu kecil, Ibu selalu berkata padaku untuk selalu
menghabiskan makanan. Kalau tidak habis, maka makannnya akan menangis. Begitu
katanya. Saat dewasa, tentu aku tidak lagi memercayai perkataan Ibu, hanya saja
aku lebih merasa kurang sopan kalau tidak menghabiskan makanan, apalagi jika
sedang berada di rumah orang. Setelah berjuang mati-matian, akhirnya makananku
habis. Alhamdulillah, kataku.
Makan malam habis, milkmax
juga sudah habis, berarti hanya tinggal seblak yang belum dimakan. Aku yang
tadinya antusias sekali ingin mengetahui bagaimana rasanya seblak, menjadi
kurang nafsu untuk memakannya. Semua gara-gara kekenyangan minum milkmax, ditambah makan nasi tadi. Disamping
itu, aku melihat kamu membuka bungkus seblak dan mulai memakannya. Benar-benar
kelaparan ini anak, batinku.
Aku yang dibuat penasaran dengan rasa seblak, akhirnya
membuka bungkus dengan perlahan.
“Ini pedes banget lho,” katamu memberi peringatan.
“Nggak apa-apa, aku suka pedes,” balasku menyepelekan.
Selesai membuka bungkus seblak, aku mencicipi kuahnya lebih dulu.
Slrupp..
“Huah!”
“Tuh kan, dibilangin ngeyel, sih. Hahaha,” katamu tertawa
jahat.
“Wah, parah ini. Pedesnya nyeglak banget,” kataku sambil menahan pedas yang sepertinya dari
lada. “Micinnya banyak juga ya ternyata.”
“Kamu sih nekat beli-beli.”
“Nyoba, ih, penasaran aku tahu,” kataku. “Kok, kamu
bisa-bisanya seneng makan seblak?”
“Sebenernya nggak seneng, beli kalau lagi pengen aja. Kalau
abis makan makanan yang banyak micinnya juga kadang tenggorokanku sakit, terus
kena radang.”
“Woo, tuh kan, udah tahu bakal sakit, kok masih ndableg,”
“Ya, gimana ya . . orang aku seneng,” katamu sambil melanjutkan
makan seblak.
Aku sendiri tidak lanjut memakannya. Seharusnya, tadi aku
cukup mencicipi seblakmu, tidak perlu membuka seblakku yang pada akhirnya tidak
aku makan.
“Oh, ya, kenapa kamu suka nonton Harry Potter?” tanyaku
mencoba mencari topik baru.
“Kok kamu tahu aku suka Harry Potter? Kamu buka-buka laptop
aku, ya?” tanyamu curiga. Kemudian aku mengakui perbuatanku yang sama sekali
tidak sopan itu. Oh, iya, kalau kamu sedang membaca ini aku benar-benar minta
maaf atas perbuatanku, karena waktu itu aku belum sempat meminta maaf.
“Hoo, dasar,” katamu. “Bagus tahu filmnya, kamu belum
nonton?”
“Dulu pas tayang di tv, aku nonton tapi dikit doang.
Kapan-kapan aku tonton deh.”
Beberapa waktu kemudian, setelah aku tahu kamu senang dengan
film-film Harry Potter, akhirnya aku jadi tertarik untuk menontonnya juga. Aku
setuju denganmu kalau filmnya bagus. Bagus banget. Film yang bercerita tentang
petualangan di dunia fantasi menjadi gaya film baru favoritku setelah film-film
bertema cinta, dan patah hati. Dibanding film Harry Potter sewaktu remaja, aku
lebih suka saat mereka masih kecil. Emma Watson menjadi aktris favoritku di
film Harry Potter.
Awalnya aku kira Emma Watson, atau Hermione Granger sebagai
pemain wanita yang sering ditonjolkan dengan aktor utama, yaitu Harry Potter
saling jatuh cinta. Biasanya kebanyakan film seperti itu, ternyata aku salah
besar.
Aku menulis pesan di whatsapp,
“Kok Hermione nggak sama Harry Potter, sih?” tanyaku dengan emotikon kesal.
“Ya, kok tanya aku, sih. Tanya J. K. Rowling dong,” balasmu
tak kalah kesal.
“Padahal lebih cocok sama Harry Potter.”
“Aku malah lebih setuju sama Ron.”
“Dombledor beneran mati?” tanyaku saat menghentikan adegan
Snape menjatuhkan Dombledor beberapa waktu kemudian.
“Iya,” balasmu dengan emotikon sedih.
“Yah, males nonton lagi aku.”
---
“Kalau kamu suka film apa?” giliran kamu menanyai film
kesukaanku.
“Belakangan ini lagi suka sama film musikal.”
“Yang mana?”
“Kamu tahu sutradara yang namanya John Carney?”
“Eng . . gak.”
“Yah, berarti kamu nggak tahu,”
“Emang filmnya apa dulu, nih?”
“Begin Again, tahu? Yang pemainnya Adam Levine?”
“Mm . .”
“Yang di dalam filmnya ada lagu Lost Star?”
“Nggak tahu,”
“Sing Street, deh?”
“Nggah tahu juga.”
“Yah.”
“Bagus, ya?”
“Yang mana?”
“Yang tadi, yang ada Adam Levine?”
“Bagus, sih, tentang orang yang lagi berusaha move on,”
Malam yang sebentar itu kita habiskan untuk membahas film,
dan obrolan kecil hangat yang tidak lagi aku ingat. Di tengah-tengah obrolan,
di depan rumah, Bapak, dan adik-adikmu sedang sibuk membelah duren hasil panen
dari kebunmu sendiri. Kemudian adikmu yang paling kecil membawakan duren yang
sudah terpisah dari kulitnya itu ke meja tamu. Perutku yang sudah dibuat
kenyang tidak mencoba satu pun duren itu. Padahal aku sangat ingin, mengingat
sore tadi kita batal membeli es duren.
Aku melihat jam tangan, menunjukkan pukul tujuh lebih. Di
samping itu kamu dan adik perempuanmu sedang asyik berbicara. Tak lama kemudian
adikmu masuk ke ruang tengah. Aku bersiap-siap memakai kembali jaket,
memasukkan telepon genggam ke saku. Setelah sekiranya aku telah siap untuk
perjalanan kembali pulang ke rumah, aku meminta pamit padamu.
“Udah malem, kayaknya aku harus pamit sebelum kemaleman
pulangnya,”
“Sekarang?”
“Iya.”
“Sebentar aku siap-siap dulu.”
“Eh, Ibu Bapak kamu mana? Aku mau pamitan.”
Kamu membawaku masuk ke ruang tengah, di sana ada Ibumu
mengetahui niatanku untuk pamit pulang.
“Kok, buru-buru, Mas? Nggak nginep aja?” tanya Ibumu.
“Oh, enggak, Bu. Keluarga udah nungguin di rumah. Takutnya
nanti pulangnya kemaleman.”
“Lho, ya, justru itu, pulangnya besok pagi aja biar lebih
santai.”
“Waduh, pulang sekarang aja, Bu. Hehehe. Soalnya hari ini
Bapak juga pulang, dan baru sampai. Biar bisa nyapa Bapak di rumah,” kataku
beralasan seadanya.
Kemudian Ibumu ke ruang belakang, membawa kardus, dua buah
duren utuh, dan dua plastik kacang kulit.
“Waduh, jadi ngerepotin, Bu,”
“Udah nggak apa-apa, suka duren, kan?”
“Suka banget, Bu.”
Aku membantu Ibumu memasukkan duren dan kacang ke dalam
kardus, sekaligus mengikatkan tali rafia yang aku ikat sembarangan. Aku memang
tidak jago dalam tali temali. Sewaktu ikut pramuka dari SD hingga SMA, aku
selalu remidi dalam hal tali temali. Satu hal yang aku banggakan waktu pramuka
adalah dipercaya kelompokku untuk mengambil peran saat pos sandi morse.
Setelah semua hal sudah siap, dan kamu sudah selesai
berdandan, aku pamit kepada Ibumu. Bapak kamu sedang tidak berada di rumah,
hanya Ibumu saja yang mengantarku sampai depan rumah.
“Udah siap?” tanyaku memastikan kamu sudah duduk.
“Udah.”
“Pulang dulu, ya, Bu. Makasih oleh-olehnya. Assalamualaikum.”
“Iya, wa’alaikumsalam.”
Selesai pamit, aku melaju kendaraan beranjak pergi
meninggalkan rumahmu. Malam itu terasa dingin, mungkin udara hasil dari
sisa-sisa gerimis sore tadi. Kamu masih menggunakan baju yang sama, yang tidak
terlalu tebal, sehingga aku melaju kendaraan dengan tidak terburu-buru. Kamu
memberi arah jalan untuk kita sampai di terminal.
“Kayaknya udah tutup deh,” katamu ragu saat kita hendak
menyebrang menuju terminal.
“Efisiensi kan? Itu tempatnya masih bukaan dikit. Coba tanya
dulu, ya,” kataku mengarahkan kendaraan dan berhenti tepat di depan agen bus
efisiensi.
“Tiket efisiensi masih ada, Pak?” tanyaku kepada salah satu
bapak-bapak yang ada di sana.
“Udah tutup, mas,”
Aku memberi isyarat tidak ada kepadamu yang menunggu di
motor. Aku melihat sekeliling terminal semua agen bus lain sudah gelap tidak
ada orang. Kamu memberitahuku kalau di daerah Ajibarang (entah ini benar atau
tidak) banyak bus malam yang mengarah ke kotaku, dan kita hanya tinggal
mengetem menunggu busnya lewat.
Perjalanan yang kita lalui ternyata cukup jauh. Aku jadi mengkhawatirkanmu saat kamu balik ke rumah seorang diri selarut ini.
“Kok jauh, ya?” kamu tidak merespon. Entah hal apa yang
sedang kamu pikirkan saat itu. Aku melihat sekejap mata ke belakang, kamu
sedang diam, dan pikiranmu entah berada di mana. “Kalau tahu gini, mending tadi
aku nginep aja, ya,” kataku mencoba mencairkan suasana yang ternyata gagal.
Kamu masih tetap diam, tidak merespon sedikit pun perkataanku.
Aku melanjutkan perjalanan dengan pikiran yang sama
sepertimu. Mencoba mencari pikiranmu yang entah di mana dan tidak kutemukan.
Perjalanan malam itu ingin sekali aku mendengarkan nada-nada Sementara milik
Float.
Malam itu aku kembali
mengingat
Semua hal
Semua perjalanan
Yang sudah kita lewati
Satu hari ini
Masih kah kita terus
melangkah?
Lebih dari ini?
Masih kah ada hari
Di mana kita lalui
bersama?
Seperti hari ini
Masih kah ada
kesempatan
Melihat manis senyummu
itu?
Masih kah ada
kesempatan
Melihat teduh matamu
itu?
Percayalah hati lebih
dari ini
Pasti kita lalui
Jangan henti di sini
---
Perjalanan yang terasa jauh itu berakhir setelah dua puluh
menit kita habiskan tanpa sepatah kata. Aku menghentikan motor di pinggir
jalan. Mengambil kardus oleh-oleh dari Ibumu dan menempatkannya di sampingku.
Sekarang kita sedang berdiri, menunggu bus yang akan membawaku pulang datang. Di
tempat kita menunggu, ada bongkahan bebatuan bekas trotoar di situ. Tanpa aku
sangka-sangka, kamu menaikinya seperti seorang anak kecil, lalu berusaha
menyamai tinggi tubuhku.
“Kamu tinggi banget, sih,” katamu dengan tersenyum. Aku hanya
membalas dengan senyuman tak kalah manis. Aku berusaha membuat kamu baik-baik
saja, walaupun kita tahu, perjalanan kita hari ini berakhir di sini. Kita akan
berpisah dalam waktu yang aku sendiri tidak tahu sampai kapan kita akan bertemu
lagi. Aku mencoba berusaha tetap baik-baik saja. Mencoba menampilkan raut wajah
paling ceria.
“Itu busnya,” katamu.
“Yang ini?” aku mengulurkan tangan, memberi tanda agar
busnya berhenti.
Kernet bus berteriak agar aku cepat masuk. Aku mengambil
kardus oleh-oleh pemberian Ibumu. Dalam waktu singkat, akhirnya, aku
mengucapkan pamit kepadamu.
“Aku pulang. Terima kasih buat hari ini,” aku tidak tahu
lagi apa yang mesti dikatakan dalam waktu yang singkat ini. “Kamu hati-hati
pulangnya, jangan sedih,” saat itu aku ingin sekali memelukmu namun entah
mengapa aku tidak bisa. “Kamu juga hati-hati, salam buat keluarga di rumah,”
balasmu. “Ya udah, ya, aku berangkat, assalamualaikum,”
kataku mengakhiri. Dengan segera aku naik ke bus. Mencari-cari tempat duduk
yang kosong. Setelah dapat, aku melihat luar melalui jendela, mencari kamu. Aku
menemukanmu, pandangan kita saling bertemu. Lalu, entah mengapa, tanpa sadar aku
melambaikan tangan, sebagai tanda perpisahan terakhir. Tanpa memedulikan
penumpang lain, aku berteriak, “Dadah,” dari balik jendela sambil melambaikan
tangan, kamu pun melakukannya, membalas salam perpisahanku. Bus perlahan melaju
meninggalkanmu dan kenangan di dalamnya, satu hari ini.
Comments
Post a Comment