Cinta Memang Begitu
Akhir tahun lalu saya bertemu
dengan seorang teman lama, Nan. Dia datang jauh-jauh dari Depok ke Yogya. Saya
terkejut saat kembali bertemu. Kalau tidak salah, terakhir kita ketemu saat
lulusan SMA. Tiga tahun lalu.
Saya memperhatikan wajahnya, sudah berbeda. Tampak lebih dewasa, tidak seperti dulu, cupu. Maaf apabila teman saya membaca tulisan ini, tapi memang benar begitu. Selain itu, dia juga tidak fasih betul dalam urusan percintaan. Selama mengenalnya saya tidak pernah dengar dia punya pacar. Saya malah berpikiran, dia tidak suka perempuan. Maaf sekali lagi. Tapi memang benar begitu, bukan?
Kami bertemu di kontrakan
teman kami yang juga satu SMA. Pertama-tama, tentu, kami membicarakan hal-hal
selayaknya orang yang sudah lama tidak bertemu; bertukar kabar.
“Sehat, Us?” tanya Nan dengan
pembawaan yang tenang.
“Alhamdulillah.” jawab saya
tak kalah tenang.
“Alhamdulillah. Kamu kuliah
di Yogya juga, to?”
“Iya, baru semester satu.”
“Oalah, lah, dulu di mana?”
“Dulu sempat di Solo.”
“Berarti sudah semester empat
di sana? ”
“Baru semester dua. Hehehe.”
“Oalah. Hehehe.”
Saya lalu mengantar teman
saya mencari makan. Sepanjang perjalanan, saya menanyakan apa tujuan teman saya
datang ke Yogya. Teman saya mulai menceritakan hal-hal yang melatarbelakangi
dia ke sini. Katanya, dia ingin bertemu seseorang.
“Loh, siapa?” tanya saya
penasaran.
“Namanya Wiwi. Dia kuliah di
UIN. Adik tingkatku dulu waktu SMP. Jurusan Komunikasi. Sudah satu minggu dia
tidak ada kabar.”
“Kenapa?” saya semakin penasaran
dan berpikiran kalau Nan dan Wiwi memiliki hubungan yang lebih dari sekedar
teman biasa.
“Tidak tahu. Aku whatsapp hanya centang satu,
instagramnya juga tidak aktif. Pokoknya semua akun media sosialnya tidak aktif.
Ya, mungkin saja, dia sedang ujian atau apa, aku tidak mengerti. Untuk itulah
aku ke sini. Mencari kabar.”
“Sudah ketemu?”
“Kemarin aku sudah mencari
bersama teman. Sudah ke kampusnya. Tapi, hanya bertemu dengan teman-temannya
saja.”
Sampai sini saya ingin sekali
berkata, “Ya elah, baru satu minggu. Saya saja pernah sampai dua minggu
lho tidak kabar-kabaran. Dua minggu. Dua minggu, lho. Dua kali lipatnya.” Namun saya urungkan,
mengingat nyalinya sungguh besar sudah datang jauh-jauh sampai Yogya. Saya
tidak ingin mematahkan semangatnya.
“Sudah mencari kosnya juga . .
.” teman saya melanjutkan “. . . dia pernah memberi tahu kalau kosnya dekat
dengan rel kereta api dan pernah ada kecelakaan dekat kosnya.”
Lalu saya berpikir, karena
teman saya ini kuliah di jurusan Kriminologi dan juga obsesinya yang ingin
menjadi detektif sejak dulu, mungkin dia sangat yakin bisa menemukan kosan adik
tingkatnya itu. Hanya dengan bekal ciri-ciri tersebut.
“Terus ketemu?” saya kembali
bertanya.
“Tidak juga. Aku malah
bertemu teman lama, teman kita juga semasa SMA.”
“Oalah.”
“Aku sempat menanyakan apakah
ada yang bernama Wiwi, yang ngekos di sini, kepada teman kita itu dan juga ibu
kos. Namun, tidak ada.”
“Kenapa tidak tanya saja sama
teman-temannya Wiwi?”
“Sudah. Tapi mereka tidak
memberi tahu. Seakan-akan ada yang mereka sembunyikan.”
Percakapan itu terhenti
ketika kita sampai di warung makan. Teman saya membeli makan, saya menunggunya
sambil duduk. Setelah selesai, kami kembali ke kontrakan. Sampai di kontrakan,
saya langsung mengirim pesan ke Kambing, menceritakan kalau saya baru saja
bertemu dengan Nan. Ngomong-ngomong, dulu saya mengenal Nan berkat Kambing.
Kambing dan Nan adalah teman satu SMP, kembali bertemu lagi saat SMA. Aku dan
Kambing satu kelas, sedangkan Nan beda kelas, namun kelas kami berdampingan. Saya dan Kambing kadang main ke kelasnya Nan, atau sebaliknya.
“Mbing, aku ketemu Nan.”
“Loh kok bisa?”
Saya lalu menjelaskan panjang
lebar. Menceritakan kalau Nan ke Yogya untuk bertemu dengan perempuan yang
tidak ada kabarnya selama satu minggu. Whastapp
dan semua media sosialnya tidak aktif.
“GOBLOK. BERARTI DEE WIS ORA
GELEM KARO KOE, NYET!” seru Kambing menanggapi cerita Nan yang saya ceritakan.
Saya tertawa membacanya. Saya
juga berpikiran demikian. Namun lagi-lagi, saya tidak ingin mematahkan
semangatnya. Lha wong, sampai
dibela-belain ke Yogya, lho ya.
“Sapa, Mbel, jenengane?”
(Siapa, Mbel, namanya?) tanya Kambing penasaran.
“Wiwi Mbing. Jere adik tingkatmu pas SMP.” (Wiwi, Mbing.
Katanya adik tingkatmu waktu SMP.)
“Genaeh, Mbel? Mbel, genaeh?”
(Serius, Mbel. Mbel, serius?)
“Iya.”
“Nyong tau cedak masalaeh karo Wiwi.” (Aku pernah dekat masalahnya sama Wiwi.)
“Haaa! Seriusaan!?”
“Iyaa. Duh.”
“Oalah.”
Malam harinya hujan perlahan
turun. Suasana berubah menjadi sunyi dan sahdu. Saya dan Nan masih berada di
kontrakan teman. Tiba-tiba Nan mendatangi saya yang sedang duduk di teras. Kami
berbincang kembali.
“Us, aku boleh minjam
hapemu?”
Saya yang masih berkirim
pesan dengan Kambing di whatsapp, segera
menutup aplikasi. “Boleh.”
Saya melihat Nan sedang
menulis nomor ponsel Wiwi di ponsel saya. Kemudian membuka whatsapp, mencari kontak Wiwi memastikan apakah whatsapp-nya masih aktif atau sudah
dihapus. Ternyata masih aktif, dan foto profilnya tertera jelas di sana. Sedangkan
di ponsel Nan sendiri, tidak ada foto profil Wiwi. Saya membatin, “Jelas ini
diblokir.”
Terlihat jelas ada kemurungan
di wajah Nan. Hujan yang awalnya jatuh perlahan, kini semakin deras seiring suasana
hati Nan yang kian tak karuan. Saya bisa melihat itu, namun Nan masih mampu
bersikap tenang. Nan kemudian mengembalikan ponsel, saya membiarkan Nan menyelesaikan
perasaannya sendiri.
Saya duduk di beranda,
menikmati bunyi hujan sambil memikirkan keadaan serupa jika itu terjadi pada
saya. Jelas menyakitkan. Ada alasan yang belum saya mengerti, tapi saya juga
tidak berniat untuk menanyakan. Saya malah merasa ikut campur nantinya. Kemudian
saya ingat lagu yang belakangan ini saya putar setelah mendengarnya pertama
kali di radio, better that we break,
milik Maroon 5.
It’s
not right, not okay
Say
the word that you say
Maybe
we’re better off this way . . .
Comments
Post a Comment