Setapak Berdua
kfk.kompas.com |
Aku baru saja memutuskan untuk berhenti
melangkah. Bukan, bukannya aku lelah. Hanya saja, aku ingin memastikan langkah. Setelah
cerita-cerita yang selalu berujung akhir, tidak ada lagi tujuan dan arah yang
hendak kutuju. Aku memutuskan berhenti dan duduk di atas bukit sekedar melihat
keindahan senja yang sementara. Sedangkan di sebelahku ada sebuah pohon yang
telah kehilangan daun-daunnya. Kurasa takdir kita sama. Aku juga sedang merasakan
kehilangan, entah apa, sepertinya tentang cinta.
“Lihatlah aku. Aku masih tetap berdiri meski
daun-daun memutuskan pergi.” Pohon itu mengajakku berbicara.
“Tapi aku tidak ingin sepertimu yang dengan
rela melepaskan daun begitu saja. Bukankah cinta harus diperjuangkan?”
“Kau juga harus merelakan.”
Percakapan antara pohon dan aku selesai begitu
saja.
Sekiranya banyak orang yang beranggapan,
termasuk aku, bahwa cinta memang harus diperjuangkan. Tetapi sedikit yang
menyadari bahwa kau juga harus merelakan seseorang yang kau cintai. Seperti
halnya, jika dia yang berbeda keyakinan denganmu atau kau yang memperjuangkan
cinta sendiri sedangkan dia tidak pernah mencintaimu.
Bukankah akan menjadi lebih mudah jika bukan
hanya kamu atau aku saja yang merasakan jatuh cinta, tetapi kita berdua. Kau
dan aku. Pastinya akan jauh lebih mudah bukan? Sayangnya kau juga harus
mengerti, cinta tak selamanya sesuai dengan yang kau harapkan.
Lalu, aku memutuskan untuk bercerita kepada
senja.
☕
Sore itu, awan tiba-tiba saja menjadi kelabu.
Aku putuskan untuk singgah pada sebuah kafe untuk memesan satu kopi hitam
kesukaanku. Sebelumnya aku baru saja selesai membaca buku di perpustakaan kota.
Tepatnya di seberang kafe yang sedang kukunjungi ini. Aku baru saja membaca
cerita cinta yang selalu saja rumit. Bagaimana mungkin cinta dapat membuat
seseorang rela mengorbankan nyawanya saat orang yang ia cinta tidak lagi
bernyawa? Apakah cinta mereka akan menjadi abadi setelahnya? Seperti itulah
pikiran-pikiranku beradu setelah membaca cerita yang kubaca hingga lembar
terakhir.
“Mbak, biasa ya.” Pintaku kepada seorang
barista.
Sebelumnya aku sudah berulang kali ke sini. Kafe
ini menjadi salah satu tempat favoritku untuk sekedar mencari keramaian atau
menemukan ide-ide baru untuk menulis. Biasanya aku memilih tempat duduk di
sebelah jendela, agar aku bisa melamun saat hujan datang. Seperti sore ini, hujan
turun secara tiba-tiba. Lantas, pandanganku langsung menuju ke luar jendela
kafe. Iringan lagu ‘Sandhy Sandoro – End of The Rainbow’ berhasil membuatku
melamun saat itu juga.
and now, i’ll pick up the star for you,
if you love me too, if you love me too
I know, i’ll fly you to the sun till the end of the rainbow
end of the rainbow..
Dengan perlahan aku tersadar dari lamunanku
saat aku melihat seorang perempuan berjalan di tengah guyuran hujan membawa
sebuah tas biola. Perempuan itu menyusuri hujan dengan menaruh tas biolanya di
atas kepala sebagai payung untuk menutupinya dari rintik hujan. Dengan
hati-hati perempuan itu berjalan, mencari tempat yang sekiranya tidak dibasahi
hujan. Tanpa sadar, aku terus memandangi langkah demi langkah perempuan itu hingga
masuk ke dalam kafe.
“Hai, Ra. Kehujanan ya?”
“Iya nih, Mas.”
“Ya udah, siap-siap aja dulu ya di belakang.”
Perempuan itu berbicara kepada pemilik kafe.
Dan baru saja aku mendengar, pemilik kafe memanggil perempuan itu dengan ‘Ra’. Mungkin saja perempuan itu bernama Ratih?
Tiara? Atau mungkin Raisa? Ah. Apapun itu, sekarang aku sudah tau walaupun
hanya nama panggilannya.
Perempuan itu datang ke kafe untuk memenuhi
undangan dari pemilik kafe untuk mengisi panggung. Seketika perempuan itu
datang lalu berdiri di atas panggung kecil dengan biolanya. Perempuan itu.. mengapa aku baru melihatnya sekarang, setelah berulang kali aku datang
ke sini, ke kafe ini?
Sore itu, aku menikmati rintik hujan dengan
alunan biola Chaconne.
☕
Setelah melihat perempuan di kafe itu, aku berencana
untuk mengenalnya lebih dekat. Ya, jika saja semesta menghendaki aku untuk
bertemu dengannya lagi. Siang ini, aku pergi ke kafe. Bukan, bukannya aku ingin
bertaruh dengan semesta agar dipertemukan dengan perempuan itu lagi. Hanya saja
aku ingin menenangkan pikiran setelah seharian berkutat dengan tugas-tugas
kuliah.
Setelah sampai, kafe itu sudah dipenuhi orang-orang.
Aku mencari-cari tempat duduk yang masih kosong. Tak lama, aku menemukan tempat
duduk di dekat jendela, tempat duduk kesukaanku. Kali ini ada yang berbeda, aku
melihat sudah ada seorang perempuan yang sedang duduk di sana. Aku tidak
mengerti apakah dia sedang menunggu seseorang atau tidak. Aku putuskan untuk
mendekatinya.
“Permisi. Lagi nunggu orang ya?” Aku membuka
percakapan. Lalu mataku tertuju pada mata perempuan itu. Sepertinya aku sudah
pernah melihat perempuan ini. Ya, benar
saja. Dia perempuan yang ingin kutemui lagi. Perempuan yang ingin kuketahui
bukan sekedar nama panggilannya. Perempuan yang memainkan Chaconne kemarin sore.
“Oh, enggak kok.”
“Boleh share?”
“Dengan senang hati.” Perempuan itu menjawab
sepaket dengan senyumannya.
Sekarang aku berada satu meja dengannya. Kita
saling berhadapan. Sehingga aku bisa melihatnya dengan lebih jelas. Dia
mengenakan kaca mata. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Mata dan jemarinya
sedang sibuk berusuan dengan laptopnya.
“Kamu yang kemarin main biola di sinikan?” Aku
mencoba membuka percakapan lagi.
“Iya.” Jawab perempuan itu, singkat.
“Bagus banget lho main biolanya.”
“Makasih.” Lagi-lagi perempuan itu melemparkan
senyum kepadaku yang kubalas dengan degupan jantung berirama cepat.
“Lagi sibuk ngerjain tugas ya?”
“Oh, enggak kok. Lagi searching bahan aja buat nanti sore. Kebetulan aku ngajar anak-anak
SD di rumah.”
“Wah, asik juga. Boleh ikut?” Aku mencari-cari
alasan agar bisa berlama-lama dengan perempuan itu. Entahlah, sepertinya aku
sudah menjatuhkan hati kepadanya. Ya, semudah itu.
“Boleh.” Perempuan itu lagi-lagi mengembangkan
bibirnya.
“Oh iya. Aku Bryan. Panggil aja, Yan.”
“Ara.”
Ara.
Ara.
Ara.
Nama yang
cantik, seperti orangnya. Gumamku dalam hati.
Setelah Ara menutup laptopnya. Kita berdua
saling berbicara panjang lebar. Aku suka saat Ara bercerita. Seakan dia
membawaku masuk ke dalam ceritanya. Seperti saat mendengar dongeng yang
dibacakan Ibu hingga membuatku tertidur. Seperti alunan biola yang dimainkan Ara
sore itu. Hanyut.
Aku mengantarkan Ara ke rumahnya yang jaraknya
tidak jauh dari kafe. Aku juga baru mengetahui saat Ara bercerita jika dia
menyukai hujan. Pantas saja, kemarin Ara jalan kaki menuju kafe. Di rumahnya
sudah ramai didatangi anak-anak yang sudah menunggu.
“Hai, anak-anak. Aku Kak Bryan.”
“Hallo, Kak Bryan.” Anak-anak menjawab
serentak.
“Yan, udah ashar. Mau sholat dulu?” Tanya Ara.
“Maaf, Ra. Aku bukan muslim.”
“Oh, maaf. Ya udah kamu sama anak-anak dulu
ya.”
Baru saja aku merasakan ada rasa yang berbeda
saat bersama Ara, sekarang ada yang harus aku sadari bahwa kita berdua tidak
satu keyakinan. Kita berbeda. Tapi,
secepat itukah aku harus menyerah? Aku ingin berjuang. Setidaknya sampai aku
mengutarakan.
Setelah pertemuan antara aku dan Ara untuk
yang ke-tujuh belas kalinya, aku mengajaknya ke bukit setelah aku tau saat
pertemuan ke-sepuluh, Ara menyukai senja. Aku mengajak Ara duduk di bawah pohon
yang saat itu daunnya tumbuh lebat. Aku membeli es krim gelato kesukaannya, yang aku tau saat pertemuan ke-delapan.
Saat senja mulai datang, saat itu juga aku
dengan perlahan mengutarakan apa yang selama ini aku rasakan kepada Ara.
“Ra?”
“Ya. Kenapa, Yan?”
Aku menghela napas lalu mengeluarkannya
perlahan. Mencoba menenangkan diri.
“Walaupun kita sudah bertemu untuk yang
ke-delapan belas kalinya, saat pertama kali aku melihatmu, saat aku melihatmu
di bawah hujan, saat aku pertama kali melihat senyumanmu.. aku sudah jatuh
cinta.”
“....” Ara tidak membalas.
“Kau tidak perlu menjawabnya sekarang.”
“Bukan, bukan itu. A-ku gak bisa. Kita
berbeda, Yan.”
“Itu alasanmu?”
“Ya. Seharusnya kau jatuh cinta dengan satu agamamu.”
“Bagaimana jika aku ingin satu keyakinan
sepertimu. Kau ingin mengubah jawabanmu?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Kau yakin ingin mengetahuinya?”
“Ya, tentu saja.”
“Aku tidak mencintaimu. Maaf.”
“Aku tidak mencintaimu. Maaf.”
☕
Begitulah, kata terakhir yang aku dengar
darinya. Kau tau apa yang aku rasakan saat itu? Ya, cintaku saat itu juga
lenyap. Apa yang telah aku perjuangkan, semuanya sudah berakhir.
“Kau juga salah.” Kata Senja.
“Aku harus bagaimana lagi? Aku sudah
memperjuangkannya.”
“Kau jatuh cinta pada orang yang salah."
Perlahan setelah senja selesai berbicara, langit kian meredup. Lantas saat itu juga, aku berdiri, melanjutkan langkah menuju entah.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteentah kenapa latar tempat kafe dalam sebuah cerpen asmara itu selalu berhasil membuat baper. yang gue bayangkan adalah... kafe berwarna grayscale.
ReplyDeletePlus lagi ujan-ujan. Beuh :))
Deletepupus.
ReplyDeletebtw suka intronya. terus nulis yaa. :D
terima kasih :))
Deletesedih, ceritanya bikin meler
ReplyDeletemakasi kambing :'))
DeleteAra?seriously?kok baru nyadar ya -_-
ReplyDeleteAraminta Sa.. Eh, yaampun. Hahaha.
Delete