Setapak Berdua

kfk.kompas.com


Aku baru saja memutuskan untuk berhenti melangkah. Bukan, bukannya aku lelah. Hanya saja, aku ingin memastikan langkah. Setelah cerita-cerita yang selalu berujung akhir, tidak ada lagi tujuan dan arah yang hendak kutuju. Aku memutuskan berhenti dan duduk di atas bukit sekedar melihat keindahan senja yang sementara. Sedangkan di sebelahku ada sebuah pohon yang telah kehilangan daun-daunnya. Kurasa takdir kita sama. Aku juga sedang merasakan kehilangan, entah apa, sepertinya tentang cinta.

“Lihatlah aku. Aku masih tetap berdiri meski daun-daun memutuskan pergi.” Pohon itu mengajakku berbicara.
“Tapi aku tidak ingin sepertimu yang dengan rela melepaskan daun begitu saja. Bukankah cinta harus diperjuangkan?”
“Kau juga harus merelakan.”

Percakapan antara pohon dan aku selesai begitu saja.

Sekiranya banyak orang yang beranggapan, termasuk aku, bahwa cinta memang harus diperjuangkan. Tetapi sedikit yang menyadari bahwa kau juga harus merelakan seseorang yang kau cintai. Seperti halnya, jika dia yang berbeda keyakinan denganmu atau kau yang memperjuangkan cinta sendiri sedangkan dia tidak pernah mencintaimu.

Bukankah akan menjadi lebih mudah jika bukan hanya kamu atau aku saja yang merasakan jatuh cinta, tetapi kita berdua. Kau dan aku. Pastinya akan jauh lebih mudah bukan? Sayangnya kau juga harus mengerti, cinta tak selamanya sesuai dengan yang kau harapkan.

Lalu, aku memutuskan untuk bercerita kepada senja.


Sore itu, awan tiba-tiba saja menjadi kelabu. Aku putuskan untuk singgah pada sebuah kafe untuk memesan satu kopi hitam kesukaanku. Sebelumnya aku baru saja selesai membaca buku di perpustakaan kota. Tepatnya di seberang kafe yang sedang kukunjungi ini. Aku baru saja membaca cerita cinta yang selalu saja rumit. Bagaimana mungkin cinta dapat membuat seseorang rela mengorbankan nyawanya saat orang yang ia cinta tidak lagi bernyawa? Apakah cinta mereka akan menjadi abadi setelahnya? Seperti itulah pikiran-pikiranku beradu setelah membaca cerita yang kubaca hingga lembar terakhir.

“Mbak, biasa ya.” Pintaku kepada seorang barista.

Sebelumnya aku sudah berulang kali ke sini. Kafe ini menjadi salah satu tempat favoritku untuk sekedar mencari keramaian atau menemukan ide-ide baru untuk menulis. Biasanya aku memilih tempat duduk di sebelah jendela, agar aku bisa melamun saat hujan datang. Seperti sore ini, hujan turun secara tiba-tiba. Lantas, pandanganku langsung menuju ke luar jendela kafe. Iringan lagu ‘Sandhy Sandoro – End of The Rainbow’ berhasil membuatku melamun saat itu juga.

and now, i’ll pick up the star for you,
if you love me too, if you love me too
I know, i’ll fly you to the sun till the end of the rainbow
end of the rainbow..

Dengan perlahan aku tersadar dari lamunanku saat aku melihat seorang perempuan berjalan di tengah guyuran hujan membawa sebuah tas biola. Perempuan itu menyusuri hujan dengan menaruh tas biolanya di atas kepala sebagai payung untuk menutupinya dari rintik hujan. Dengan hati-hati perempuan itu berjalan, mencari tempat yang sekiranya tidak dibasahi hujan. Tanpa sadar, aku terus memandangi langkah demi langkah perempuan itu hingga masuk ke dalam kafe.

“Hai, Ra. Kehujanan ya?”
“Iya nih, Mas.”
“Ya udah, siap-siap aja dulu ya di belakang.”

Perempuan itu berbicara kepada pemilik kafe. Dan baru saja aku mendengar, pemilik kafe memanggil perempuan itu dengan ‘Ra’. Mungkin saja perempuan itu bernama Ratih? Tiara? Atau mungkin Raisa? Ah. Apapun itu, sekarang aku sudah tau walaupun hanya nama panggilannya.

Perempuan itu datang ke kafe untuk memenuhi undangan dari pemilik kafe untuk mengisi panggung. Seketika perempuan itu datang lalu berdiri di atas panggung kecil dengan biolanya. Perempuan itu.. mengapa aku baru melihatnya sekarang, setelah berulang kali aku datang ke sini, ke kafe ini?

Sore itu, aku menikmati rintik hujan dengan alunan biola Chaconne.


Setelah melihat perempuan di kafe itu, aku berencana untuk mengenalnya lebih dekat. Ya, jika saja semesta menghendaki aku untuk bertemu dengannya lagi. Siang ini, aku pergi ke kafe. Bukan, bukannya aku ingin bertaruh dengan semesta agar dipertemukan dengan perempuan itu lagi. Hanya saja aku ingin menenangkan pikiran setelah seharian berkutat dengan tugas-tugas kuliah.

Setelah sampai, kafe itu sudah dipenuhi orang-orang. Aku mencari-cari tempat duduk yang masih kosong. Tak lama, aku menemukan tempat duduk di dekat jendela, tempat duduk kesukaanku. Kali ini ada yang berbeda, aku melihat sudah ada seorang perempuan yang sedang duduk di sana. Aku tidak mengerti apakah dia sedang menunggu seseorang atau tidak. Aku putuskan untuk mendekatinya.

“Permisi. Lagi nunggu orang ya?” Aku membuka percakapan. Lalu mataku tertuju pada mata perempuan itu. Sepertinya aku sudah pernah melihat perempuan ini. Ya, benar saja. Dia perempuan yang ingin kutemui lagi. Perempuan yang ingin kuketahui bukan sekedar nama panggilannya. Perempuan yang memainkan Chaconne kemarin sore.
“Oh, enggak kok.”
“Boleh share?”
“Dengan senang hati.” Perempuan itu menjawab sepaket dengan senyumannya.

Sekarang aku berada satu meja dengannya. Kita saling berhadapan. Sehingga aku bisa melihatnya dengan lebih jelas. Dia mengenakan kaca mata. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Mata dan jemarinya sedang sibuk berusuan dengan laptopnya.

“Kamu yang kemarin main biola di sinikan?” Aku mencoba membuka percakapan lagi.
“Iya.” Jawab perempuan itu, singkat.
“Bagus banget lho main biolanya.”
“Makasih.” Lagi-lagi perempuan itu melemparkan senyum kepadaku yang kubalas dengan degupan jantung berirama cepat.
“Lagi sibuk ngerjain tugas ya?”
“Oh, enggak kok. Lagi searching bahan aja buat nanti sore. Kebetulan aku ngajar anak-anak SD di rumah.”
“Wah, asik juga. Boleh ikut?” Aku mencari-cari alasan agar bisa berlama-lama dengan perempuan itu. Entahlah, sepertinya aku sudah menjatuhkan hati kepadanya. Ya, semudah itu.
“Boleh.” Perempuan itu lagi-lagi mengembangkan bibirnya.
“Oh iya. Aku Bryan. Panggil aja, Yan.”
“Ara.”

Ara.
Ara.
Ara.
Nama yang cantik, seperti orangnya. Gumamku dalam hati.

Setelah Ara menutup laptopnya. Kita berdua saling berbicara panjang lebar. Aku suka saat Ara bercerita. Seakan dia membawaku masuk ke dalam ceritanya. Seperti saat mendengar dongeng yang dibacakan Ibu hingga membuatku tertidur. Seperti alunan biola yang dimainkan Ara sore itu. Hanyut.

Aku mengantarkan Ara ke rumahnya yang jaraknya tidak jauh dari kafe. Aku juga baru mengetahui saat Ara bercerita jika dia menyukai hujan. Pantas saja, kemarin Ara jalan kaki menuju kafe. Di rumahnya sudah ramai didatangi anak-anak yang sudah menunggu.

“Hai, anak-anak. Aku Kak Bryan.”
“Hallo, Kak Bryan.” Anak-anak menjawab serentak.
“Yan, udah ashar. Mau sholat dulu?” Tanya Ara.
“Maaf, Ra. Aku bukan muslim.”
“Oh, maaf. Ya udah kamu sama anak-anak dulu ya.”

Baru saja aku merasakan ada rasa yang berbeda saat bersama Ara, sekarang ada yang harus aku sadari bahwa kita berdua tidak satu keyakinan. Kita berbeda. Tapi, secepat itukah aku harus menyerah? Aku ingin berjuang. Setidaknya sampai aku
mengutarakan.

Setelah pertemuan antara aku dan Ara untuk yang ke-tujuh belas kalinya, aku mengajaknya ke bukit setelah aku tau saat pertemuan ke-sepuluh, Ara menyukai senja. Aku mengajak Ara duduk di bawah pohon yang saat itu daunnya tumbuh lebat. Aku membeli es krim gelato kesukaannya, yang aku tau saat pertemuan ke-delapan.

Saat senja mulai datang, saat itu juga aku dengan perlahan mengutarakan apa yang selama ini aku rasakan kepada Ara.

“Ra?”
“Ya. Kenapa, Yan?”

Aku menghela napas lalu mengeluarkannya perlahan. Mencoba menenangkan diri.

“Walaupun kita sudah bertemu untuk yang ke-delapan belas kalinya, saat pertama kali aku melihatmu, saat aku melihatmu di bawah hujan, saat aku pertama kali melihat senyumanmu.. aku sudah jatuh cinta.”
“....” Ara tidak membalas.
“Kau tidak perlu menjawabnya sekarang.”
“Bukan, bukan itu. A-ku gak bisa. Kita berbeda, Yan.”
“Itu alasanmu?”
“Ya. Seharusnya kau jatuh cinta dengan satu agamamu.”
“Bagaimana jika aku ingin satu keyakinan sepertimu. Kau ingin mengubah jawabanmu?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Kau yakin ingin mengetahuinya?”
“Ya, tentu saja.”
“Aku tidak mencintaimu. Maaf.”


Begitulah, kata terakhir yang aku dengar darinya. Kau tau apa yang aku rasakan saat itu? Ya, cintaku saat itu juga lenyap. Apa yang telah aku perjuangkan, semuanya sudah berakhir.

“Kau juga salah.” Kata Senja.
“Aku harus bagaimana lagi? Aku sudah memperjuangkannya.”
“Kau jatuh cinta pada orang yang salah."

Perlahan setelah senja selesai berbicara, langit kian meredup. Lantas saat itu juga, aku berdiri, melanjutkan langkah menuju entah.

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. entah kenapa latar tempat kafe dalam sebuah cerpen asmara itu selalu berhasil membuat baper. yang gue bayangkan adalah... kafe berwarna grayscale.

    ReplyDelete
  3. pupus.
    btw suka intronya. terus nulis yaa. :D

    ReplyDelete
  4. Ara?seriously?kok baru nyadar ya -_-

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sudah lama

Social Media