Your Parents

Your Parents

Sebagai seorang anak, aku merasa hubunganku dengan Bapak tidak terlalu dekat. Mungkin, perkerjaan yang membuat Bapak selalu berada di luar kota, membuat hubungan kami ikut berjarak. Tiap ada kesempatan bertemu atau berbalas pesan, seringkali aku tidak tahu harus berkata apa. Sekadar basa-basi pun rasanya sudah kepalang canggung.

Bapak bukan tipe orang tua yang senang bertanya kabar anak-anaknya. Tapi, untuk urusan pendidikan, Bapak sangat perhatian. Aku ingat, sewaktu aku diterima kuliah di Solo, Bapak mengantarku daftar ulang dan keliling mencari indekos. Perjalanan pulang-pergi seharian itu, menjadi waktu terlama yang aku habiskan bersama Bapak. Setelah kiranya setahun lebih Bapak tidak pulang.

Aku masih ingat dengan jelas perjalanan seharian itu. Berangkat pagi dari rumah dan menghabiskan empat jam perjalanan menuju Solo, kota yang sama sekali tak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya. Sesampainya di Solo, aku langsung melakukan daftar ulang yang memakan waktu cukup lama. Bapak menungguku di luar gedung. Selesai mengurus daftar ulang, aku mencari Bapak dan menemukannya sedang mengobrol di pinggir jalan. Ternyata, selama menungguku, Bapak sibuk mencari informasi indekos dengan orang-orang sekitar.

Aku bersama Bapak diajak salah seorang warga untuk melihat beberapa indekos yang ia tawarkan. Sayang, semua harga sewanya tidak bisa dibayar perbulan. Alhasil, aku bersama Bapak balik ke kampus, memutuskan istirahat sambil mencari makan siang. Waktu itu, soto kantin koperasi jadi pilihan makan siang kami. Selesai makan, Bapak iseng bertanya kepada Ibu pemilik kedai tentang informasi indekos murah yang bisa dibayar perbulan dan tidak terlalu jauh dari kampus. Beruntung, ia tahu dan mengatakan kalau tetangganya di belakang ISI punya indekos yang kami cari. (Kalau suatu saat diberi kesempatan bertemu dengan Ibu ini lagi, aku akan mengucapkan terima kasih yang teramat sangat padanya).

Berbekal informasi itu, aku bersama Bapak langsung menuju lokasi. Indekos itu tepat berada di pertigaan dan hanya berjarak satu rumah dari masjid. Pokoknya, sesuai dengan kriteria indekos yang kami cari. Pemiliknya merupakan seorang nenek yang sangat ceria dan baik hati. Kamarnya yang di lantai dasar masih banyak yang kosong. Sedangkan, di kamar atas tersisa satu kamar. Aku memilih kamar atas untuk menjadi tempat istirahatku selama di Solo. Alasannya sederhana: ketika pagi tiba, aku bisa menghirup udara segar dari balkon atas. Dan, ketika sore datang, aku bisa melihat pergantian warna langit dari jingga ke hitam malam.

Setelah semua urusan di Solo selesai, aku bersama Bapak pamit pulang ketika sore tiba dan langit sedikit berawan. Beruntung selama perjalanan tidak hujan. Malam tiba ketika kami tiba di Yogya. Kami memutuskan berhenti sejenak, mencari makan malam. Aku masih ingat waktu itu kami makan di warung padang favorit Ibu dan Bapak saat mereka suatu waktu berada di Yogya. Mumpung sedang bersama Bapak, aku mengambil ayam goreng untuk kujadikan santapan penutup hari itu.

Kalau ditanya apa yang aku rindu dari Bapak, aku dengan lantang akan menjawab: waktu bersamanya.

Oh, ya, pagi ini masakan Ibu hampir gosong, karena Ibu lupa kalau masih memasak. Ibu menyalahkanku karena aku tidak mengingatkan. Aku tahu memang kalau masih ada kompor yang hidup. Aku pikir Ibu ingat dengan masakannya, sehingga aku tidak perlu mengingatkan. Pikirku begitu. Tapi, Ibu tetap menyalahkanku.

Aku menjadi sebal. Tapi, setelahnya aku baru ingat kalau aku juga lupa membuang sampah yang Ibu perintahkan. Untuk mencairkan suasana, aku balik menyalahkan Ibu karena tidak mengingatkanku kembali untuk membuang sampah. Ibu tertawa sebal.

Kira-kira seperti itulah sedikit gambaran hubunganku dengan Ibu.

Comments

Popular posts from this blog

Social Media