Menikmati Kukila di Akhir Pekan



Membaca Kukila saat berada di rantau, membuat saya seketika kangen rumah, terutama kepada Ibu.
Sebagai anak yang kini hidup jauh dari orang tua, pada satu titik saya merasa butuh sosok mereka sebagai tempat berkeluh kesah. Namun, karena kurang cakap berbicara, saya jarang sekali berterus terang tentang apa yang saya rasakan. Ketika membaca Kukila, saya menemukan solusi yang mungkin terdengar kuno namun terasa begitu intim, surat menyurat.

Dalam Kukila saya merasakan betapa besar cinta tokoh aku yang ditulis Aan Mansyur kepada Ibunya yang tertuang di beberapa cerita. Sebagai pembaca yang menyukai tulisan Aan Mansyur lewat puisi-puisinya, kumpulan cerpen yang terdiri dari 16 cerita ini berhasil memberi ruang baru dalam memaknai tulisan Aan Mansyur secara lebih sederhana, jujur, dan apa adanya.

Sebelumnya, saya mengenal Aan Mansyur melalui tiga buku kumpulan puisinya, Melihat Api Bekerja, Tidak Ada New York Hari Ini, dan Cinta yang Marah. Dibanding membaca cerpen, membaca puisi tentu perlu pemaknaan lebih untuk mengerti maksud yang hendak disampaikan. Dalam membaca Kukila, cerita terasa mengalir begitu saja. Saya seperti menemukan seorang anak yang sedang bercerita saat Ibunya menanyai, “Bagaimana harimu?” di kejauhan.

Di beberapa cerita, Aan Mansyur berhasil membuat saya merasa sebagai tokoh aku yang diceritakan. Dalam Kebun Kelapa di Kepalaku, tokoh aku memiliki masalah serupa dengan apa yang saya alami. Saya berambut panjang. Setiap kali saya pulang ke rumah, Ibu selalu mempertanyakan rambutku, “Kapan potong rambut?” dan selalu saya balas esok, entah kapan. Merasa kurang puas dengan jawaban itu, Ibu kemudian mengancam, “Saat tidur nanti akan Ibu potong!”, untungnya ancaman ini tak pernah terjadi.

Saya patut bersyukur tidak dijatuhi pilihan seperti tokoh aku dalam cerita Kebun Kelapa di Kepalaku.

“Hari ini aku harus memotong rambut. Ibu memberi dua pilihan. Hanya dua pilihan. Memotong rambutku atau memotong lehernya (hal. 69).”

Jika Ibu saya memberi dua pilihan itu, saya pun akan melakukan hal serupa seperti tokoh aku. Menariknya, dalam cerita tersebut, Aan Mansyur memberi akhir di luar dugaan. Aan selalu pintar memainkan alur cerita. Tokoh aku yang sudah kepalang potong rambut, tertunda pernikahannya. Sebab calon istrinya tidak suka dengan pria yang (berambut) mirip militer.

Salah satu cerita lainnya, yaitu Tiga Surat Cinta yang Belum Terkirim. Cerita ini berisi surat-surat permintaan maaf kepada sang adik, rasa rindu pada mantan pacar, dan yang terakhir untuk Ibu. Tokoh aku diceritakan memiliki karakter yang cukup pendiam, sehingga ketika ada hal yang perlu disampaikan, ia menyampaikannya lewat surat. Saya senang dengan gaya penulisan Aan Mansyur. Sebab berhasil membuat aktifitas surat menyurat terasa begitu mesra. Cerita ini menjadi alasan lahirnya paragraf pertama di atas. 

Dalam Kukila, Aan Mansyur tak hanya menyajikan beberapa cerita pendek yang ia karang. Ada satu kisah yang menceritakan kehidupan pribadi Aan Mansyur. Kisah itu diberi judul Setia adalah Pekerjaan yang Baik. Kisah ini mengajarkan pentingnya arti kesetiaan. Saya kemudian teringat pada satu cerita yang pernah saya baca, berkaitan dengan setia.

Dalam menjalin sebuah keluarga, setia menjadi pekerjaan yang baik. Ketika sudah memiliki anak, setia menjadi pekerjaan yang baik. Ketika keduanya bertengkar, setia menjadi pekerjaan yang baik. Ketika salah satu memutuskan berpisah, setia menjadi pekerjaan yang baik, untuk tetap menjaga anak-anak. 

Kukila menjadi buku kumpulan cerpen yang perlu dibaca tidak hanya sekali. Melalui corak cerita pendek yang ditulis, Aan Mansyur berusaha keluar dari jalur penulisan cerita pendek biasanya. Aan memadukan beragam sudut pandang penokohan yang ia bangun dalam kumpulan ceritanya. Keragaman ini yang menjadikannya berbeda.

Kukila menjadi buku yang perlu dibaca di akhir pekan, dan disaat rindu dengan keluarga.  Akhir kata, selamat berakhir pekan dengan Kukila. 

Comments

Popular posts from this blog

sudah lama

Social Media