Satu Hari Sekali Lagi : Memulai
Kita sepakat
untuk bertemu di kos seorang teman pukul 5 pagi, setelah sahur dan juga solat
subuh. Aku bangun pukul 4, lalu membeli makan untuk sahur. Sembari menunggu
pukul 5, aku duduk di teras atas, melihat langit yang masih pekat, menghirup
udara yang sejuk. Pikiranku kembali mengingat hal-hal yang sudah terjadi
setahun belakangan ini.
Aku ingat banyak
hal. Hal-hal yang tentu saja terlalu banyak untuk diceritakan. Di samping itu,
aku merasa, entah kenapa, semenjak aku tahu akan meninggalkan solo, lebih
tepatnya tidak lagi hidup di solo, ada perasaan berat di hati. Berat untuk
meninggalkan hal-hal yang sudah terjadi. Kenangan. Dan juga teman-teman yang
sangat menyenangkan.
Aku beranjak
dari tempat duduk, melangkah menuju pagar, mengamati langit dengan lebih
cermat. Ternyata pagi itu, bulan sedang cantik-cantiknya. Aku mengabadikan
dengan kamera, lalu kuberi musik pengiring yang dikirim teman setelah tau aku
hendak pulang, meninggalkan solo dalam waktu lama.
hei, sampai jumpa di lain hari
untuk kita bertemu lagi
ku relakan dirimu pergi..
Setelah
videonya jadi, aku mengunggahnya ke whatsapp
status. Tak lama kemudian, ada chat
masuk dari kamu.
“Jangan
galau terus, ayok ke sini.” Aku tersenyum, lalu dengan segera aku membalas “Aku
otw.”
Ternyata jam
sudah menunjukkan pukul 5 lebih. Aku langsung bersiap-siap menuju tempat
janjian kita. Sebelum meninggalkan kos, aku pamitan dengan mbah kos. Ngomong-ngomong
waktu itu, mbah kos belum aku beritahu bahwa mulai besok aku sudah tidak kos di
sini lagi. Aku belum siap berterus terang. Lebih tepatnya, aku tidak pernah ingin
mengucapkan selamat tinggal. Bagiku, mbah kos sudah aku anggap sebagai mbahku
sendiri, begitupun sebaliknya, aku sudah dianggap saudara oleh mbah kos.
“Mbah, aku
pulang dulu.”
“Sampai
kapan to liburnya?”
“September
awal, Mbah. Paling ke sini lagi pas lebaran.” Kataku untuk meyakinkan mbah
bahwa aku akan kembali dalam waktu dekat.
“Ya udah
hati-hati. Titip salam buat ibu.”
“Oke. Ya udah,
aku pamit dulu, Mbah.”
Setelah mengucapkan
salam, aku langsung menuju tempat pertemuan kita. Begitu sampai di tempat yang
kita sepakati, kamu tidak ada. Aku cek whatsapp,
ternyata kamu menunggu di depan gang. Sepertinya kamu sudah menunggu terlalu
lama, ya kan? Maaf. Hahaha.
“Hai!”
sapaku tepat setelah aku menghentikan motor di sebelahmu.
Kamu tidak
merespon apa-apa. Aku tau, kamu sudah jengkel menunggu. Aku berusaha mencairkan
suasana, “Banyak bener bawaanmu.”
“Gatau tuh,
mau pindahan kali.” Balas seorang teman yang ikut pulang bersama kita. Aku tertawa
kecil.
“Ya udah yuk
berangkat.” Katamu.
“Yuk.”
“Kamu depan,
aku gak tau jalan sampai jogja.”
“Seriusan?
Oke deh.” padahal sebetulnya aku ingin di belakangmu. Mengamati bahwa kamu
baik-baik saja.
Sampai di
pertigaan kleco, kamu menyusul. Sekarang aku berada di belakangmu. Begitu terus
sepanjang perjalanan. Lalu dalam pikiranku terpintas kalimat, “Dasar kamu yaa!”
Sepanjang
perjalanan, aku selalu memikirkan pertanyaan apa yang sebaiknya dikatakan saat
kita berhenti di lampu merah. Tentu saja agar tidak canggung-canggung amat. Mengingat
kita jarang sekali ngobrol di kampus.
Namun,
ternyata, hasilnya nihil.
Oh iya, saat
kita berhenti di pom bensin dan hendak memulai perjalanan kembali, saat di mana
kamu mengikat tali tas punggungku, aku merasa senang sekali.
Bersambung..
Comments
Post a Comment