Satu Hari Sekali Lagi : Awal



“Sebentar deh,” katamu.
“Ada apa?”

Tiba-tiba dari arah belakang, kamu mengikat tali tas punggungku. Aku terkejut dengan apa yang kamu lakukan. Setelah itu, aku tersenyum. Senang sekali sebenarnya. Tapi, aku mencoba menahan diri untuk tidak kegirangan. Ini pertama kalinya dalam sejarah hidup, ada perempuan yang melakukan hal itu kepadaku. “Terima kasih,” ucapku.

Kita melanjutkan perjalanan. Pemberhentian selanjutnya adalah tempat tinggalku. Hanya sekitar satu jam dari tempat pemberhentian kita terakhir. Oh ya, aku ingin bercerita sedikit. Ternyata sepanjang aku mengikuti laju kecepatanmu saat berkendara, kamu kencang juga ya. Aku kira selama ini hanya kakak perempuanku  saja yang berkendaranya kebut-kebutan, dan was-wes-was-wes ketika melewati pengendara lain. Paling tidak kalau aku sedang dibonceng kakak perempuanku, aku selalu mengatakan, “Mbak! Woi! Pelan-pelan dong!” sambil menepuk pundaknya.

Kakak perempuanku ini memang tipe orang yang sedikit kelaki-lakian. Setelah putus dengan gebetannya saja, yang menangis gebetannya.

Ngomong-ngomong aku khawatir saat kamu melaju dengan kencang. Saat kamu hendak melewati pengendara lain, aku selalu berteriak-teriak sendiri seolah kamu dapat mendengarnya. Seperti ketika kamu hampir bersenggolan dengan pengendara lain, aku akan teriak-teriak sendiri, “Pelan-pelan aja dong!” Sebal sekali rasanya harus mencemaskanmu.

Satu jam terlewati. Kita sampai di rumahku. Ini pertama kalinya ada teman kuliahku yang berkunjung ke sini. Aku memintamu untuk duduk, dan beristirahat. Aku memanggil Ibu yang berada di ruang tengah, mengatakan bahwa aku membawa dua orang teman ke rumah. Ibuku menyapamu dan menyapa teman kita. Lalu, menanyakan siapa namamu, dan dari mana kamu berasal.

“Wah, jauh juga ya,” kata Ibu. “Berani motoran dari Solo ke Purbalingga?”
“Dulu udah pernah sekali, Bu. Jadi, ya, berani,” jawabmu.

Setelah itu Ibuku mengatakan kalau kamu mirip dengan salah satu saudaraku. Padahal sepertinya, setelah aku ingat-ingat, tidak begitu mirip. “Bisa aja nih, Ibu,” batinku.

Selesai berbicara denganmu, Ibu melirikku dengan penuh curiga. Seolah sedang mengatakan, “Oh, ini. Hm..” aku pun hanya senyum-senyum melihat ekspresi yang ditunjukkan Ibu. Lalu, Ibu masuk ke ruang tengah lagi. Aku mengikutinya.

“Bu, mau minta ijin,”
“Mau ngapain?”
“Mau nganter ke Purbalingga. Boleh ya? Boleh dong? Yes,” kataku. “Jauh loh, Bu. Apalagi sekarang puasa. Banyak yang mudik juga. Masa iya ngelepas perempuan motoran sendiri,” tambahku untuk meyakinkan Ibu agar membolehkan. Mengingat Ibu tidak pernah berani melepas anak-anaknya berpergian jauh.
“Wah, cie..” kakak perempuanku ikut campur. “Bilang aja mau ketemu sama camer.”
“Hehehe,” jawabku. “Boleh ya, Bu, ya?”
Ibu hanya tersenyum, seolah apa yang tadi dicurigai memang benar adanya.
“Yes! Wihi.. Minta sangu ya, Bu. Duitku abis. Hahaha,”
“Hati-hati. Jalan ke arah barat lebih padat. Banyak kendaraan besar,”
“Siap!”

Setelah istirahat beberapa saat di rumahku, kita melanjutkan perjalanan menuju rumah teman kita. Di mana rumahnya masih satu kota denganku. Berhubung waktu itu sudah siang, di sana kita hanya numpang solat duhur. Agar tidak terlalu kesorean sampai di rumahmu nanti. Selesai solat, aku dan kamu bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke rumahmu. Kali ini kita tidak motoran sendiri-sendiri. Hanya satu motor. Iya. Satu motor. Aku di depan, kamu di belakang. Sedekat itu. Motorku sendiri aku titipkan di rumah teman kita. Ini merupakan pertama kalinya aku berada satu jok denganmu. Allah memang Maha Asik.

Dari sini lah, cerita pendekatan dimulai.

Bersambung..

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

sudah lama

Social Media