Sebuah Sesal

daengbattala.com
Sekiranya sejak pertemuan kita untuk pertama kalinya, aku telah jatuh cinta. Semudah itu sejak kulihat binar matamu yang begitu meneduhkan. Senyumanmu membuatku tiada henti menjatuhkan hati kepadamu.

“Aku jatuh cinta, tidakkah kau sadari?” tanyaku dalam hati saat kita sedang duduk saling menghadap dan aku sedang melihat matamu dari balik kaca mata yang sering kau kenakan. Jika saja kau tahu, kamu lebih cantik tanpa mengenakan kaca mata.

Kita sedang berada di dalam bianglala. Kita memutuskan untuk menaiki bianglala karena malam ini hujan turun tanpa aba-aba. Matamu sedang tertuju pada pemandangan dari atas bianglala. Sesekali sebuah senyuman terlukis dengan indah di wajahmu. Sesakali angin bertiup, mengibas rambut hitammu yang sebahu. Kamu tidak tahu, aku sedang memperhatikanmu.

Kita sudah begitu lama saling mengenal satu sama lain. Kamu menganggapku sebagai salah satu dari sahabat yang selalu ada untukmu. Kamu selalu saja hadir pada tiap lamunanku yang selalu buatku tersenyum sendiri tanpa sadar. Tawa kecilmu saat kau sedang bercanda dengan teman-temanmu melengkapi lamunanku kala itu. Andai saja kau mengerti perasaanku kepadamu, semestinya aku tidak hanya menjadi yang selalu ada untukmu, tetapi yang menjagamu dan mencintaimu dengan tulus.

“Pulang yuk?” pintamu.

Aku masih saja memandangi binar matamu. Aku belum sadar dengan perkataan yang baru saja kau katakan. Andai saja kau tahu aku sedang sibuk membuat bayang-bayangmu dalam lamunanku.

“Heloo, Rendi pulang yuk? Bianglalanya udah berhenti nih.” pintamu sekali lagi dengan melambai-lambaikan tanganmu ke depan mataku. Kali ini lamunan tentangmu buyar begitu saja.
“E-eh iyaa, maaf-maaf. Ya udah yuk, ujannya juga udah berhenti.” Aku membukakan pintu bianglala untukmu.

Baru saja aku mengagumi indah dirimu kini aku harus mengantarmu pulang. Padahal aku rela menghabiskan waktuku untuk berlama-lama denganmu jika saja kamu tau.

Malam itu begitu dingin dan sunyi. Sisa-sisa guyuran hujan yang baru saja reda, menghadirkan aroma yang begitu menyejukkan, aku menyukai aroma ini. Namun ketika  denganmu, aku sudah merasa sejuk tanpa perlu menghirup aroma udara sehabis hujan.

Lagu Pulang yang dibawakan Float, tiba-tiba saja bergeming dikepalaku.

“Dan lalu,
Rasa itu tak mungkin lagi kini
Tersimpan di hati
Bawa aku pulang, rindu
Bersamamu..”

“Aku masuk dulu yaa. Kamu hati-hati di jalan.” Ucapmu setelah kedua kakimu turun dari pijakan motorku.
“Mmm, Tiara..”
“Iya?” jawabmu dengan mengangkat kedua alis tipis dan sedikit senyum simpul yang begitu manis.

Bibirku tiba-tiba saja menjadi beku, lidahku kaku. Pikiranku menjadi semrawut saat memikirkan kata-kata yang ingin aku sampaikan, jika.. aku mencintaimu, Tiara. Ah, mengapa jatuh cinta serumit ini.

“Gak ada apa-apa. Cuma mau ngomong kalo.. jaketnya besok aja kamu kembaliin.” Ah, bego banget.

Tanpa mendengar perkataanku Tiara melepaskan jaket yang kupinjami tadi saat hujan datang.

“Dipake yaa, malem ini dingin banget lho. Nanti kamu masuk angin, terus kita gak bisa seneng-seneng lagi.” Tiara memberikan jaket padaku dengan senyuman yang tak bisa aku tolak.
“Ya udah, makasih yaa.” Aku menerima jaket dengan menahan tubuhku yang sedari tadi menggigil.
“Tuhkan kamu kedinginan. Ya udah dipake ya jaketnya. Nanti kalo udah sampe rumah kabarin yaa.” Lagi-lagi Tiara memberikan senyuman yang mendebarkan hatiku.
“Selamat malam, Tiara.” Ucapku mengakhiri malam yang sudah kita lewati, yang sebenarnya tidak ingin aku ucapkan.

Malam itu indah. Setidaknya akan menjadi lebih indah jika saja aku berani terus terang dengan perasaanku ini.


“Naik paralayang yuk, Ren.”
“Ngapain? Emang berani?”
“Berani dong. Aku pengen ngerasain rasanya terbang di atas awan itu kayak gimana. Mau yaa?” Tiara memaksaku.
“Ok. Besok pagi aku jemput kamu yaa.”

Aku tidak mengerti, mengapa Tiara begitu ingin naik paralayang. Aku juga tidak mengerti mengapa hanya aku yang diajak oleh Tiara. Apakah? Ah, tentu saja Tiara hanya menganggapku tak lebih sebagai sahabatnya. Aku juga tidak mengerti mengapa aku memenuhi keinginannya. Jelas saja, aku mencintainya.

Kali ini aku tidak akan menyianyiakan kesempatan untuk mengutarakan perasaanku kepada Tiara. Setidaknya perasaanku akan jauh lebih tenang setelah mengatakan semuanya.

Pagi itu kita sampai ke tempat di mana kita akan menaiki paralayang untuk melihat pemandangan dari sisi atas. Aku melihat wajahmu begitu bahagia. Begitu terang. Pagi itu aku melihat matahari dan bulan tampak bersama-sama. Tak salah jika aku jatuh hati kepada bulan, kepada kamu.  Aku juga begitu jatuh cinta dengan bulan sabit. Lengkungnya menyerupai senyuman Tiara yang membuatku selalu jatuh.

Setelah perlengkapan sudah terpasang, kita bersiap untuk menyusuri awan. Sebelumnya aku sudah pernah menaiki paralayang, sehingga aku bisa bersama-sama melihat dunia bersama Tiara. Teriakkanmu saat kita sedang berada di atas, sangat jelas menggambarkan bahagianya kamu saat itu. Aku beruntung bisa membuatmu bahagia. Lebih beruntungnya lagi, aku menemukan kebahagiaan itu saat bersamamu.

“Aku cinta kamu, Ra.” Teriakku yang mengalahkan teriakkan Tiara. Jika saja Tiara mendengarnya dari dalam hatiku. Sekali lagi aku membodohi perasaanku.

Pikiranku kembali beradu. Disatu sisi aku begitu ingin segera mengatakan semua rasa ini, di sisi yang lain aku tidak ingin merusak persahabatan kita. Bagaimana mungkin aku mengatakannya jika saja sejak kita putuskan bersahabat, aku sudah begitu bahagia. Bahagiaku adalah bersamamu. Itu saja. Tanpa perlu kau tau perasaanku. Bukankah cinta harus diungkapkan? Kata hatiku beradu.

“Makasih ya, Ren.” Tiara melangkahkan kakinya ke arahku saat kami baru saja turun dari paralayang. Dengan tiba-tiba Tiara memelukku. Begitu erat.

Baru saja aku merasakan ada yang lebih hangat dari pelukan kopi di malam hari yang biasa menghangatkanku dari dinginnya malam. Degup jantungku tak bisa menolak, kali ini berdetak lebih cepat. Aku merasakan pelukanmu begitu erat seperti kau tidak ingin kehilanganku.

“Terima kasih juga, Tiara. Untuk kesekian kalinya kamu sempatkan bahagia bersamaku. Semoga aku bisa membuatmu bahagia; esok, lusa dan sepanjang hari.”
Tiara melepaskan pelukannya. Melangkah mundur. Kini mata kita saling tertuju. “Kamu bisa ngegombal juga ya, Ren. Hahaha.”


Sudah dua tahun semenjak kita bertemu, aku masih saja memendam perasaanku. Mungkin akan ku katakan esok, lusa atau bahkan waktu yang akan menyadarkanmu bahwa ada rasa yang lain dari setiap kita bertemu. Atau mungkin saja kamu tidak akan pernah menyadarinya. Apapun itu, aku ingin tetap berada di sampingmu saat ini. Menikmati tiapku bersamamu.

Sudah satu hari semenjak kau putuskan menaiki paralayang bersamaku, aku tidak melihatmu di kelas. Tidak ada surat ataupun kabar darimu. Aku merasa akulah penyebab ketidakhadiranmu. Selepas pulang sekolah, aku putuskan pergi ke rumahmu. Sekedar untuk menjenguk dan mengetahui kabarmu. Sebelum menemuimu aku mampir ke toko buah. Aku merasa kamu kelelahan karena kemarin kita sudah menghabiskan begitu banyak waktu.

Tok! Tok! Tok!
“Assalamua’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Suara seorang perempuan membalas salamku dari balik pintu. Aku tidak mengenalinya. Itu bukan suara Tiara yang biasa kudengar saat dia bercerita. Lalu seorang Ibu paruh baya membukakan pintu. Benar saja itu bukan Tiara, bukan juga Ibunya.

“Ini Mas Rendi ya?”
“Iya. Tiaranya ada, Bu?”
“Tiara sudah dari kemarin di rumah sakit.”
Dadaku terasa terhantam saat mendengarnya. Aku tidak menyangka Tiara sampai dirawat di rumah sakit.
“Di rumah sakit mana ya, Bu?”
“Rumah sakit Indah Puspita.”
Ketika aku hendak pergi ke rumah sakit, ibu-ibu itu memanggilku.
“Sebentar Mas Rendi, ini ada surat dari Mba Tiara.”


Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku terus saja menyalahkan diri sendiri. Pikiranku hanya tertuju kepada Tiara. Sampai akhirnya aku tersadar, aku belum sempat membaca surat dari Tiara. Dari dalam mobil dengan perlahan aku membuka suratnya dan mulai membacanya.

Sampai di rumah sakit, aku melihat Tiara sedang terbaring, sepertinya Tiara baru saja menjalani operasi. Dari balik jendela, aku melihat ada hujan yang begitu deras membasahi matanya. Kedua orang tuanya mencoba untuk menenangkan Tiara. Perlahan aku masuk ke ruang di mana Tiara dirawat.

“Hai, Tiara.” Di matanya, hujan belum saja reda.
“Hai, Tiara. Aku bawa buah untukmu.” Tiara tak menjawabku. Perlahan aku mendekati Tiara.
“Hai, Tiara. Aku ada di sini.”

“Reendi..” Tiara tiba-tiba menjerit, memanggil namaku. Tapi kali ini tak seperti biasanya. Waktu itu Tiara memanggilku dengan memberi sebuah senyum hangat, sekarang hanya hujan yang terus saja mengalir dari matanya.

Aku baru saja ingat, setelah ada ingatan yang tiba-tiba masuk dalam pikiranku. Ingatan itu memberikan jawaban dari kenyataan yang tidak aku inginkan. Sebuah kecelakaan terjadi saat aku dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aku tak sempat menghindar karena saat dalam perjalanan, pandanganku tertuju pada surat yang ditulis Tiara. Sebuah surat yang membuatku tak percaya. Sekali lagi, aku tidak percaya Tiara jatuh cinta kepadaku.

Setelah kecelakan itu terjadi, keadaan menjadi gelap.

Baru saja aku merasa benar-benar bahagia. Baru saja aku membuat Tiara bahagia. Semestinya jika saja aku tau akan seperti ini, aku tidak perlu menunggu esok atau lusa untuk mengatakan bahwa ada perasaan berbeda saat kita bersama. Semestinya juga aku mengetahui perasaanmu kepadaku sebelum semua ini terjadi. Kini, hanya tinggal sebuah sesal yang tidak akan berarti.

Maaf, aku pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal.

Comments

  1. Halo, Bro. Pertama kali ke sini, nih. Mau dikomen soal cerpennya nggak? :D

    Menurut gue ya, secara keseluruhan udah bagus. Tapi buat gue ceritanya terlalu mudah ditebak. Too mainstream kalo kata orang mah. Selain itu, ada inkonsistensi pada penyebutan tokoh antara penyebutan Tiara, kamu, mu. Mungkin nanti bisa diperbaiki. Juga soal preposisi kata. Terus menulis ya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Whoa. Makasi banget nih masukannya.
      Gue juga baru sekali-kali bikin cerpen dan emang butuh banget dikomentarin. Hahaha
      Oke bro \o/

      Delete
    2. Yap, tapi tulisan kamu bagus. Coba asa kemampuan dengan ikut lomba menulis. Gue juga dulu tulisannya acak-acakan. Acak banget malah. Tapi karena nekat dan ada keinginan buat belajar, tulisan gue udah bisa tembus penerbit mayor, walaupun masih bentuk antologi. Ini bukan pamer loh ya, tapi motivasi. :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sebuah Lagu Untuk Dikenang

#2

Social Media