You Are the Apple of My Eye dan Beberapa Hal yang Mengingatkan Saya
Apa hal paling menyedihkan dari jatuh cinta? Mencintai tanpa
pernah bisa memiliki. Ada semacam pepatah mengatakan,
“We fall in love
with people we can’t have.”
Kalimat yang kemudian saya setujui begitu saja setelah
melihat film You Are the Apple of My Eye.
Film yang meledak di kalangan teman-teman saya ketika duduk di bangku SMA kelas
sebelas, empat tahun yang lalu. Saya sengaja tidak menontonnya karena sudah
terlanjut mendengar sekilas bagaimana film ini, begitu juga akhir filmnya.
Alasan ini membuat saya akhirnya belum berniat menonton.
Sampai akhirnya pagi tadi mendadak timbul rasa penasaran.
Saya jadi ingin tahu mengapa orang-orang sering membicarakan film ini. Terlebih
banyak yang mengatakan film ini mampu membuat sepatah-patahnya patah hati.
Hubungan antara pria dan wanita memang selalu rumit, ya.
Tiba-tiba saya teringat pada mini drama series, Nic and Mar.
Ada percakapan yang begitu membekas di ingatan saya.
“Hubungan dua orang itu nggak gampang, ya. Walaupun udah
cocok, udah saling kenal, tapi kayaknya itu aja nggak cukup,”
“Jadi kurang apa?”
“Aku cuma mau semua bisa jadi lebih sederhana, Mar,” jawab
Nic dalam hati.
Sederhana.
Keadaan yang kemudian membuat semuanya terasa rumit, begitu
pula You Are the Apple of My Eye. Ada
keinginan untuk bersama, namun semua sirna, melayang bersama lampion yang tak
pernah kembali. Yang terjadi hanyalah usaha untuk terus mencintai. Saya
sepakat. Walaupun tanpa mengikat hubungan, bukankah esensi dari cinta adalah
mencintai?
Pada akhirnya, hubungan yang belum terikat itu berakhir. Saya
tidak ingin menyalahkan Ko Ching-Teng yang selalu kekanak-kanakan, atau Shen Chia-Yi
yang tidak bisa menerima kekanak-kanakannya. Semua kembali pada kalimat, hubungan antara pria dan wanita memang selalu rumit, bukan?
Melihat kisah Shen Chia-Yi dan Ko Ching-Teng mengingatkan
saya pada beberapa hal.
Comments
Post a Comment